Benarkah Presiden Jokowi Tak Hormati DPR Jika Terbitkan Perppu Cabut UU KPK?
Benarkah Jokowi tak menghormati DPR jika terbitkan Perppu untuk mencabut UU KPK?
TRIBUNMATARAM.COM - Benarkah Jokowi tak menghormati DPR jika terbitkan Perppu untuk mencabut UU KPK?
Presiden Joko Widodo dinilai tidak menghormati keputusan DPR jika menerbitkan Perppu untuk mencabut UU KPK.
Namun, penilaian itu dianggap tidak relevan karena penerbitan Perppu merupakan hak veto Presiden dan bukan masalah hormat menghormati.
Presiden Joko Widodo mempertimbangkan penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terkait Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi.
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan Bambang Wuryanto menilai apabila Presiden Jokowi menerbitkan Perppu, maka itu sama saja, Presiden tidak menghargai DPR.
“Kalau begitu bagaimana? Ya mohon maaf, Presiden enggak menghormati kami dong? Enggak menghormati kita bersama yang sudah membahas, Presiden dengan DPR,” ujarnya.
• Tuntutan Tak Segera Dipenuhi, Mahasiswa Berencana Demo Lagi Besok Tepat saat Paripurna Terakhir DPR
Terkait hal tersebut, Kompas.com pada Sabtu (28/9/2019) menghubungi Mada Sukmajati, Pengamat Politik dari UGM.
Menurutnya, secara arsitektur kelembagaan hal tersebut (penerbitan Perppu) dimungkinkan.
“Perppu itu semacam veto bagi presiden, kemudian diberikan lembaga legislatif. Ini soal tata negara kita bukan soal hormat tidak hormat” ujarnya.
Ia juga menyebut justru ketika ini dilakukan justru menunjukkan kebijaksanaan presiden.
• Mahasiswa Tolak Penuhi Undangan Presiden Jokowi di Istana, Minta Tuntutan Dikabulkan Saja
“Dalam konteks itu, menunjukkan presiden di posisi rakyat saat ada perbedaan antara kebijakan publik dan kehendak publik,” ujarnya.
Menurutnya, apabila dilakukan hal tersebut juga memperlihatkan check and balancing antara lembaga eksekutif dan legislatif.
Sehingga menurut Mada, apabila disebut tidak menghormati, maka perlu diingat bahwa kedudukan presiden juga sebagai policy maker, atau pembuat peraturan.
“Presiden juga policy maker, bukan hanya DPR, dan Perppu adalah kelonggaran kewenangan presiden.
Negara mengakomodir Perppu apabila terjadi misalnya keadaan genting, memaksa dan sebagainya,” katanya.
Ia juga mengkritisi posisi Bambang yang notabene berasal dari PDI-P.
“Ini seperti tak ada koordinasi antara PDI di Parlemen dengan presiden. Ini bisa menjadi adanya indikator politik terbelah.
Karena seyogyanya partai yang mendukung pencalonan presiden dahulu seharusnya mengikuti irama presiden,” ucapnya lagi.
• Sempat 2 Kali Menolak, Presiden Jokowi Mulai Pertimbangkan Terbitkan Perppu Cabut UU KPK
Adapun, terkait pengeluaran Perppu KPK, ia mengamati, untuk sekarang, hal tersebut adalah pilihan terbaik.
“Mungkin tak akan memuaskan banyak pihak, namun jika dilakukan, ada indikasi kuat presiden mengakomodir kehendak publik,” kata dia.
Sementara itu, Kuskridho Ambari, pengajar di Fispol UGM juga menanggapi, menurutnya, dikeluarkannya perppu KPK berkaitan dengan aspirasi publik dimana presiden harus meresponsnya.
“Saya kira urusannya menguatnya aspirasi publik berkaitan UU KPK revisi.
Bukan tentang penghargaan ke DPR yang tak terlalu penting di tengah situasi yang panas,” ujarnya.
Ia juga menyampaikan DPR merupakan wakil rakyat jadi sudah seharusnya menekankan terhadap aspirasi rakyat dan bukan aspirasi mereka sendiri.
Terkait pendapat Bambang yang menyebutkan seharusnya dilakukan judical review ke MK, Kuskridho Ambari yang kerap disebut Doni mengatakan sekarang ini mengeluarkan perppu memiliki alasan yang kuat.
“Alasannya cukup kuat melihat situasi terakhir. Jalur judicial review perlu waktu panjang, kurang cocok menghadapi perubahan cepat,” kata dia.
Ia juga mengingatkan bahwa yang perlu direspons adalah situasi terkini yang mana eskalasi kekerasan pada mahasiswa dan publik meningkat.
“Wakil dari PDI-P itu lebih mementingkan isu elitis ketimbang isu publik.
Dan mestinya, ia melihat opsi-opsi yang bisa dipilih presiden ketimbang mengeraskan dan memojokkan presiden,” paparnya.
Sebelumnya, Bambang mengatakan, pembatalan RUU yang sudah disahkan DPR harus melalui judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
"Saya bilang, constitusional law. Kita menyatakan kalau Anda enggak sepakat undang-undang, masuknya itu ke dalam MK, judicial review di sana, bukan dengan perppu. Clear," kata Bambang saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (27/9/2019).
Seperti diketahui sejak Selasa (24/9/2019) sejumlah massa dari kalangan mahasiswa maupun elemen masyarakat lain melakukan sejumlah aksi turun ke jalan. Dalam aksi tersebut sejumlah tuntutan disampaikan.
Di antaranya adalah masalah RKUHP dan UU KPK. Massa yang terus bergerak sempat diwarnai aksi ricuh di sejumlah daerah hingga timbulnya korban tewas.
Meski sempat mengatakan tegas menolak mengeluarkan Perppu KPK, pada akhirnya Presiden menyampaikan untuk mempertimbangkan mengeluarkan Perppu terkait UU KPK. (Kompas.com/Nur Rohmi Aida)
TRIBUNMATARAM.COM - Presiden Joko Widodo mulai mempertimbangkan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk mencabut UU KPK yang menimbulkan gelombang protes besar-besaran dari warga Indonesia.
Presiden Jokowi pun mulai bertemu sejumlah tokoh untuk mendapatkan bahan pertimbangan menerbitkan Perppu untuk mencabut UU KPK.
Gelombang demonstrasi mahasiswa akhirnya membuat Presiden Joko Widodo melunak.
Jokowi kini mempertimbangkan tuntutan mahasiswa untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang ( perppu) guna mencabut Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi.
Presiden Jokowi awalnya dengan tegas menolak mencabut UU KPK yang telah disahkan oleh pemerintah dan DPR.
Bahkan, dua kali penolakan itu terlontar.
• Kronologi Lengkap Randy Meninggal dengan Luka Tembak saat Demo di DPRD Sultra, Awalnya Ricuh
Penolakan pertama disampaikan Jokowi langsung di Istana Kepresidenan, Senin (23/9/2019).
"Enggak ada (penerbitan Perppu KPK)," kata Jokowi.
Saat itu merupakan hari pertama aksi demonstrasi mahasiswa di beberapa titik di Indonesia, termasuk di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta.
Jokowi tak mengungkapkan secara gamblang alasannya mempertahankan UU yang dianggap banyak pihak bisa melemahkan KPK.
Kemudian, aksi mahasiswa dari Senin hingga Selasa (24/9/2019) yang berujung ricuh dan menimbulkan ratusan korban luka pun tak menggoyang keputusan Jokowi.
• Mahasiswa UHO Tewas Ditembak saat Demo di Sulawesi Tenggara, Luka Dada Sedalam 10 cm, Kakak Histeris
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly memastikan Jokowi tetap menolak mengeluarkan perppu. Presiden, kata Yasonna, meminta penolak UU KPK untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
"Kan sudah saya bilang, sudah Presiden bilang, gunakan mekanisme konstitusional. Lewat MK dong. Masa kita main paksa-paksa, sudahlah," kata Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (25/9/2019).
Yasonna menilai tak ada kegentingan yang memaksa bagi Presiden untuk mencabut kembali UU yang dianggap banyak pihak dapat melemahkan KPK itu.
Ia menilai demo mahasiswa yang berujung bentrokan dengan aparat di berbagai daerah juga tidak cukup untuk menjadi alasan bagi Presiden untuk merilis perppu.
"Enggak, lah. Bukan apa-apa. Jangan dibiasakan, Irman Putra Sidin (pakar hukum) juga mengatakan janganlah membiasakan cara cara begitu," ucap Yasonna.
• Belum Cabut UU KPK, DPR dan Pemerintah Sebut Penuhi Tuntutan Mahasiswa
"Berarti dengan cara itu mendeligitimasi lembaga negara. Seolah-olah enggak percaya pada MK," kata dia.

Baru pada Kamis (26/9/2019) sore Jokowi akhirnya melunak. Jokowi yang sebelumnya menolak mencabut UU KPK mulai mempertimbangkan untuk menerbitkan perppu.
Hal itu disampaikan Jokowi usai bertemu puluhan tokoh di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9/2019).
Dalam pertemuan yang berlangsung dua jam itu, Jokowi mengaku mendapat masukan dari para tokoh untuk menerbitkan Perppu KPK untuk menjawab tuntutan mahasiswa.
"Berkaitan dengan UU KPK yang sudah disahkan oleh DPR, banyak sekali masukan yang diberikan kepada kita, utamanya masukan itu berupa perppu.
Tentu saja ini kami hitung, kalkulasi dan nanti setelah itu akan kita putuskan dan sampaikan kepada senior-senior yang hadir pada sore hari ini," kata Jokowi didampingi para tokoh yang hadir.
Beberapa tokoh itu di antaranya mantan pimpinan KPK Erry Riana Hadjapamekas, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, serta pakar hukum tata negara Feri Amsari dan Bivitri Susanti.
Hadir juga tokoh lain seperti Goenawan Mohamad, Butet Kartaradjasa, Franz Magnis Suseno, Christine Hakim, Quraish Shihab, dan Azyumardi Azra.
Jokowi memastikan akan mempertimbangkan masukan dari para tokoh itu.
"Akan kami kalkulasi, kami hitung, pertimbangkan, terutama dari sisi politiknya," ujar Jokowi.
Namun, Jokowi belum memberi kepastian kapan ia akan mengambil keputusan terkait penerbitan perppu ini.
"Secepat-cepatnya, dalam waktu sesingkat-singkatnya," kata dia.

Ada kegentingan
Masih dalam kesempatan yang sama, Mahfud MD menyebut Presiden Jokowi memiliki dasar yang kuat untuk mencabut UU KPK.
Sebab, aksi unjuk rasa menolak UU KPK yang dilakukan mahasiswa di berbagai daerah sudah memunculkan kegentingan yang memaksa sebagai syarat penerbitan Perppu.
"Kan memang sudah agak genting sekarang. Itu hak subyektif Presiden, bisa juga. Tidak bisa diukur dari apa genting itu.
Presiden menyatakan 'keadaan masyarakat dan negara seperti ini, saya harus ambil tindakan', itu bisa dan sudah biasa dan tidak ada dipersoalkan itu," kata Mahfud.
Mahfud mengatakan, selain penerbitan perppu memang masih ada dua opsi lain yang bisa diambil.
Pertama adalah dengan melakukan legislative review, yakni DPR dan pemerintah segera melakukan revisi kembali terhadap UU KPK yang baru disahkan.
Kedua adalah dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Namun, Mahfud menyebut opsi Jokowi menerbitkan perppu paling kuat disuarakan oleh para tokoh saat pertemuan dengan Jokowi.
"Yang tadi cukup kuat disuarakan (dalam pertemuan) yaitu lebih bagus mengeluarkan perppu agar itu ditunda dulu sampai ada suasana yang baik untuk membicarakan isinya, substansinya," kata Mahfud. (Kompas.com/ Ihsanuddin)