Presiden Jokowi Akhirnya Bertemu dengan Ketum Parpol Pendukung, Bahas UU KPK hingga Demonstrasi
Presiden Joko Widodo telah bertemu dengan ketua umum partai politik pendukungnya untuk membahas UU KPK hingga demonstrasi.
TRIBUNMATARAM.COM - Presiden Joko Widodo telah bertemu dengan ketua umum partai politik pendukungnya untuk membahas UU KPK hingga demonstrasi.
Melalui Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani, diungkapkan jika Presiden Jokowi telah membahas soal UU KPK yang banyak didemo karena dianggap melemahkan.
Pertemuan Jokowi membahas UU KPK hingga demonstrasi besar-besaran yang dilakukan mahasiswa di seluruh penjuru Indonesia digelar Senin (30/0/2019) malam.
Presiden Joko Widodo bertemu dengan seluruh ketua umum partai politik koalisi pendukungnya di Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat.
Hal ini diungkapkan Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani.
"Kami memang bertemu di Istana Bogor. Kalau dibilang tadi malam ada pertemuan memang iya.
• Benarkah Presiden Jokowi Tak Hormati DPR Jika Terbitkan Perppu Cabut UU KPK?
Tapi pertemuan itu enggak cuma tadi malam, sering," ujar Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/10/2019).
Ia mengatakan, pertemuan semalam membahas sejumlah hal seperti pengamanan semasa pelantikan anggota DPR-DPD terpilih hingga presiden dan wakil presiden terpilih.

Saat ditanya apakah pertemuan semalam membahas Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan demonstrasi besar-besaran di Jakarta dan kota lainnya, Arsul membenarkan.
Namun, menurut dia, kedua hal tersebut tak menjadi topik pembahasan utama.
Dalam pertemuan tersebut, parpol mengusulkan agar Jokowi tak langsung mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk membatalkan UU KPK hasil revisi.
• Mahasiswa Tolak Penuhi Undangan Presiden Jokowi di Istana, Minta Tuntutan Dikabulkan Saja
Arsul Sani mengatakan, partai-partai koalisi menginginkan Presiden menempuh jalur legislative review seperti yang ditawarkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD.
Legislative review ialah pemerintah bersama DPR membahas kembali UU KPK dan memperbaikinya sesuai aspirasi publik.
Lagipula, kata Arsul, saat ini UU KPK sedang didaftarkan dalam proses uji materi di MK.
• Setelah Dipanggil Presiden Jokowi Pagi Ini, Sejumlah Menteri Hanya Bungkam Seribu Bahasa
"Kami tidak beri masukan secara spesifik. Hanya tentu partai politik menyampaikan bahwa opsi perppu harus menjadi opsi paling terakhir karena ada opsi lainnya yang mesti dieksplor juga," kata Arsul Sani. (Kompas.com/ Rakhmat Nur Hakim)
Benarkah Presiden Jokowi Tak Hormati DPR Jika Terbitkan Perppu Cabut UU KPK?
TRIBUNMATARAM.COM - Benarkah Jokowi tak menghormati DPR jika terbitkan Perppu untuk mencabut UU KPK?
Presiden Joko Widodo dinilai tidak menghormati keputusan DPR jika menerbitkan Perppu untuk mencabut UU KPK.
Namun, penilaian itu dianggap tidak relevan karena penerbitan Perppu merupakan hak veto Presiden dan bukan masalah hormat menghormati.
Presiden Joko Widodo mempertimbangkan penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terkait Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi.
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan Bambang Wuryanto menilai apabila Presiden Jokowi menerbitkan Perppu, maka itu sama saja, Presiden tidak menghargai DPR.
“Kalau begitu bagaimana? Ya mohon maaf, Presiden enggak menghormati kami dong? Enggak menghormati kita bersama yang sudah membahas, Presiden dengan DPR,” ujarnya.
• Tuntutan Tak Segera Dipenuhi, Mahasiswa Berencana Demo Lagi Besok Tepat saat Paripurna Terakhir DPR
Terkait hal tersebut, Kompas.com pada Sabtu (28/9/2019) menghubungi Mada Sukmajati, Pengamat Politik dari UGM.
Menurutnya, secara arsitektur kelembagaan hal tersebut (penerbitan Perppu) dimungkinkan.
“Perppu itu semacam veto bagi presiden, kemudian diberikan lembaga legislatif. Ini soal tata negara kita bukan soal hormat tidak hormat” ujarnya.
Ia juga menyebut justru ketika ini dilakukan justru menunjukkan kebijaksanaan presiden.
• Mahasiswa Tolak Penuhi Undangan Presiden Jokowi di Istana, Minta Tuntutan Dikabulkan Saja
“Dalam konteks itu, menunjukkan presiden di posisi rakyat saat ada perbedaan antara kebijakan publik dan kehendak publik,” ujarnya.
Menurutnya, apabila dilakukan hal tersebut juga memperlihatkan check and balancing antara lembaga eksekutif dan legislatif.
Sehingga menurut Mada, apabila disebut tidak menghormati, maka perlu diingat bahwa kedudukan presiden juga sebagai policy maker, atau pembuat peraturan.
“Presiden juga policy maker, bukan hanya DPR, dan Perppu adalah kelonggaran kewenangan presiden.
Negara mengakomodir Perppu apabila terjadi misalnya keadaan genting, memaksa dan sebagainya,” katanya.
Ia juga mengkritisi posisi Bambang yang notabene berasal dari PDI-P.
“Ini seperti tak ada koordinasi antara PDI di Parlemen dengan presiden. Ini bisa menjadi adanya indikator politik terbelah.
Karena seyogyanya partai yang mendukung pencalonan presiden dahulu seharusnya mengikuti irama presiden,” ucapnya lagi.
• Sempat 2 Kali Menolak, Presiden Jokowi Mulai Pertimbangkan Terbitkan Perppu Cabut UU KPK
Adapun, terkait pengeluaran Perppu KPK, ia mengamati, untuk sekarang, hal tersebut adalah pilihan terbaik.
“Mungkin tak akan memuaskan banyak pihak, namun jika dilakukan, ada indikasi kuat presiden mengakomodir kehendak publik,” kata dia.
Sementara itu, Kuskridho Ambari, pengajar di Fispol UGM juga menanggapi, menurutnya, dikeluarkannya perppu KPK berkaitan dengan aspirasi publik dimana presiden harus meresponsnya.
“Saya kira urusannya menguatnya aspirasi publik berkaitan UU KPK revisi.
Bukan tentang penghargaan ke DPR yang tak terlalu penting di tengah situasi yang panas,” ujarnya.
Ia juga menyampaikan DPR merupakan wakil rakyat jadi sudah seharusnya menekankan terhadap aspirasi rakyat dan bukan aspirasi mereka sendiri.
Terkait pendapat Bambang yang menyebutkan seharusnya dilakukan judical review ke MK, Kuskridho Ambari yang kerap disebut Doni mengatakan sekarang ini mengeluarkan perppu memiliki alasan yang kuat.
“Alasannya cukup kuat melihat situasi terakhir. Jalur judicial review perlu waktu panjang, kurang cocok menghadapi perubahan cepat,” kata dia.
Ia juga mengingatkan bahwa yang perlu direspons adalah situasi terkini yang mana eskalasi kekerasan pada mahasiswa dan publik meningkat.
“Wakil dari PDI-P itu lebih mementingkan isu elitis ketimbang isu publik.
Dan mestinya, ia melihat opsi-opsi yang bisa dipilih presiden ketimbang mengeraskan dan memojokkan presiden,” paparnya.
Sebelumnya, Bambang mengatakan, pembatalan RUU yang sudah disahkan DPR harus melalui judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
"Saya bilang, constitusional law. Kita menyatakan kalau Anda enggak sepakat undang-undang, masuknya itu ke dalam MK, judicial review di sana, bukan dengan perppu. Clear," kata Bambang saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (27/9/2019).
Seperti diketahui sejak Selasa (24/9/2019) sejumlah massa dari kalangan mahasiswa maupun elemen masyarakat lain melakukan sejumlah aksi turun ke jalan. Dalam aksi tersebut sejumlah tuntutan disampaikan.
Di antaranya adalah masalah RKUHP dan UU KPK. Massa yang terus bergerak sempat diwarnai aksi ricuh di sejumlah daerah hingga timbulnya korban tewas.
Meski sempat mengatakan tegas menolak mengeluarkan Perppu KPK, pada akhirnya Presiden menyampaikan untuk mempertimbangkan mengeluarkan Perppu terkait UU KPK. (Kompas.com/Nur Rohmi Aida)