Virus Corona
Pemerintah Lakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar Cegah Corona, Siapa Penanggung Kebutuhan Warga?
Namun, pertanyaan baru muncul mengenai siapa pihak yang akan menanggung kebutuhan dasar warga ketika PSBB dilakukan?
TRIBUNMATARAM.COM - Keputusan bulat diambil pemerintah dengan melakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk menangani wabah corona di Indonesia.
Rencananya, peraturan ini dibuat untuk mengatur karantina wilayah untuk membatasi penyebaran virus corona.
Namun, pertanyaan baru muncul mengenai siapa pihak yang akan menanggung kebutuhan dasar warga ketika PSBB dilakukan?
Ketentuan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
PP tersebut disusun sebagai aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
• Viral Kapolsek Jember Marahi Guru yang Asyik Arisan & Berpesta saat Sekolah Libur di Tengah Corona
• Penjelasan Lengkap dari Pemerintah Arab Saudi Soal Kepastian Ibadah Haji 2020 di Tengah Wabah Corona
Menurut UU tersebut, dalam Bab VII Pasal 49 dijelaskan tentang empat jenis karantina.
Keempat jenis karantina itu adalah karantina rumah, karantina wilayah, karantina rumah sakit dan PSBB.
Salah satu pasal dalam PP Nomor 21 Tahun 2020 mengatur soal kebutuhan dasar yang harus disiapkan pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan dasar warga. Aturan ini dimuat dalam Pasal 4 Ayat 3.
Pasal 4 Ayat 3 berbunyi, pembatasan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk.

Sedangkan, Pasal 4 Ayat 1 berbunyi: pembatasan Sosial Berskala Besar paling sedikit meliputi: a. peliburan sekolah dan tempat kerja; b. pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau c. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Pasal 4 Ayat 2 berbunyi, pembatasan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b harus tetap mempertimbangkan kebutuhan pendidikan, produktivitas kerja, dan ibadah penduduk.
Dalam PP tersebut juga dijelaskan bahwa pelaksanaan PSBB dilakukan oleh pemerintah daerah dengan persetujuan Menteri Kesehatan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2 Ayat 1 yang berbunyi:
Dengan persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, Pemerintah Daerah dapat melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau pembatasan terhadap pergerakan orang dan barang untuk satu provinsi atau kabupaten/ kota tertentu.

Penjelasan
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) MUhadjir Effendy mengatakan, yang dimaksud dengan "memperhatikan kebutuhan dasar" adalah menjamin ketersediaan dan bukan memenuhi kebutuhan.
Hal ini menjadi tanggung jawab pemerintah, bisa pemerintah pusat, pemerintah daerah, atau keduanya.
"Yang dimaksud menyiapkan kebutuhan itu menjamin ketersediaan, bukan memenuhi kebutuhan.
Pemerintah (tanggung jawab), bisa salah satu (pemerintah daerah/pusat) atau bersama-sama," ujar Muhadjir kepada wartawan, Rabu (1/4/2020).
Muhadjir menjelaskan, apabila karantina wilayah diberlakukan, kata dia, maka pemerintah wajib memenuhi kebutuhan pokok tersebut. Ini termasuk kebutuhan makanan untuk hewan peliharaan.
Namun, menurut Muhadjir, apabila PSBB yang diberlakukan hal tersebut tidak wajib dilakukan karena pemerintah memiliki opsi yang lebih longgar.
"Kalau PSBB tidak (wajib memenuhi kebutuhan). Pemerintah memiliki opsi yang lebih longgar yaitu lewat skema JPS atau Bansos," kata dia.
Meski penyediaan kebutuhan itu tidak langsung ada di tangan pemerintah pusat, kata dia, akan tetapi pemerintah pusat membantu menanganinya dengan serius.
Saat ini, kata dia, pemerintah pusat sudah mengalokasikan Rp 110 triliun untuk program JPS.

Lepas tangan?
Apa ini berarti pemerintah pusat lepas tangan dengan menyerahkan tanggung jawab ke daerah?
"Ya itu tidak masuk akal (pemerintah pusat lepas tangan). Saya yakin semangat dari pasal tentang karantina wilayah tidak itu," kata dia.
"Bisa dibayangkan kalau DKI melakukan karantina wilayah, pemerintah pusat harus kasih makan seluruh penduduk DKI sekalian kucing dan anjing piaraan, kira kira masuk akal tidak?" ucap dia.
Ia mengatakan, karantina wilayah memiliki cakupan yang sedikit lebih besar dibandingkan karantina rumah yang mencakup RT, desa, asrama, perumahan kluster, dan lainnya.
Dengan demikian, kata dia, apabila pemerintah wajib menanggung kebutuhan dasar masih memungkinkan.
Namun, dikarenakan yang diberlakukan adalah PSBB, maka pemerintah pun hanya menjamin ketersediaan dan bukan memenuhi kebutuhan dasar tersebut. (Kompas.com/ Deti Mega Purnamasari)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pembatasan Sosial Berskala Besar, Siapa Penanggung Kebutuhan Dasar Warga?".

Skenario Terburuk Covid-19 di Indonesia
Jumlah pasien terinfeksi virus corona SARS-CoV-2 terus bertambah, baik di dunia maupun Indonesia.
Menurut data Worldmeters Senin (30/3/2020) pukul 15.31 WIB, jumlah pasien Covid-19 yang terkonfirmasi di seluruh dunia ada 724.565 kasus.
Juru bicara pemerintah Indonesia untuk penanganan virus corona Achmad Yurianto mengatakan, terdapat 1.414 kasus Covid-19 hingga Senin siang pukul 12.00 WIB.
Dari total kasus tersebut, jumlah kematian mencapai 122 kasus, dan 75 pasien dinyatakan sembuh.

Jika tidak ada intervensi dari pemerintah pusat, diprediksi jumlah korban corona terus meningkat dan mencapai jutaan pada pertengahan Mei.
Di mana hampir 2,5 juta kasus memerlukan perawatan intensif di rumah sakit.
Itu merupakan skenario terburuk dari pemodelan penyebaran Covid-19 di Indonesia, yang dibuat oleh tim Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indoensia (FKM UI) yang ditujukan kepada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
• Bersin Bukan Gejala Tertular Virus Corona, Ini Penjelasannya, Jangan Parno Tapi Tetap Waspada!
Covid-19 Modelling Scenarios Indonesia
Pandu Riono, Iwan Ariawan, Muhammad N. Farid, dan Hafizah Jusril merupakan ahli yang menyusun draf skenario pemodelan penyebaran Covid-19 di Indonesia atau Covid-19 Modelling Scenarios Indonesia.
Mereka membuat pemodelan penyebaran Covid-19 dengan empat skenario.
Perhitungan simulasi berdasar data sejak sebelum kasus pertama corona di Indonesia diumumkan.
"Jauh sebelum kasus pertama diumumkan, sejak awal Februari, kita prediksi bahwa sudah ada orang yang terinfeksi," kata Pandu Riono, pakar epidemiologi Universitas Indonesia kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Senin (30/3/2020).
Ini berdasar data yang diperoleh dari rumah sakit di Indonesia bahwa sejak pekan pertama Februari ada peningkatan jumlah pasien pneumonia atau yang memiliki gejala mirip Covid-19, yakni demam, batuk, dan sesak napas.
Dia menjelaskan, tiap satu kasus positif Covid-19, dapat menginfeksi setidaknya dua orang lainnya.
Dari pemodelan yang dilakukan, tampak bahwa grafik kasus penyebaran Covid-19 di Indonesia berpotensi meroket tajam jika tidak ada intervensi tinggi atau tegas dari pemerintah.
Hal tersebut ditandai dengan garis merah putus-putus pada grafik di bawah ini.

Tanpa intervensi, jumlah total pasien Covid-19 yang harus mendapat perawatan intensif di hari ke 70 atau sekitar pertengahan Mei adalah hampir 2,5 juta pasien. Ini merupakan skenario terburuk.
"Mendekati 2,5 juta pasien pada hari ke-70, itu adalah prediksi kumulatif. Pada saat itu (hari ke-70), kita duga 50 persen penduduk sudah terinfeksi.
Jadi pada (model) ini adalah kasus yang butuh perawatan di rumah sakit, 2,5 juta yang terinfeksi dan butuh perawatan," jelas Pandu.
Diberitakan Kompas.id dengan intervensi seperti saat ini, yaitu masih berupa imbauan untuk menjaga jarak sosial dan membatasi kerumunan massal dengan cakupan rendah, masih bisa terjadi 1,8 juta orang yang harus dirawat.
Sementara intervensi moderat melalui tes massal dengan cakupan rendah dan mengharuskan jaga jarak sosial dengan penutupan seluruh kegiatan sekolah dan bisnis, maka orang yang butuh dirawat karena Covid-19 mencapai 1,2 juta orang.
Dengan intervensi tertinggi, yaitu karantina wilayah untuk membatasi pergerakan dan dengan tes massal skala luas, maka orang yang butuh perawatan intensif mencapai 600.000 orang.
"Kalau kita mau kurvanya yang warna biru, intervensinya harus high. Jadi harus benar-benar ada regulasi, social distancing.
Nah social distancing bukan hanya himbauan saja, tapi harus wajib dilakukan," tegas Pandu kepada Kompas.com.
Pandu mengingatkan, perhitungan simulasi itu bukanlah menunjukkan prediksi infeksi Covid-19 di Indonesia.
Perlu digarisbawahi, angka-angka pada grafik di atas menunjukkan jumlah pasien yang harus mendapat perawatan intensif di rumah sakit.
• Update Virus Corona Indonesia, 1.414 Pasien Positif Covid-19 di 31 Provinsi, Tingkat Kematian 8,63%
Siapa saja yang membutuhkan perawatan intensif?
Dipaparkan oleh Pandu dalam infografik di bawah ini, yang membutuhkan perawatan rumah sakit adalah pasien dengan pneumonia, pasien yang membutuhkan perawatan ICU, dan pasien yang berisiko besar meninggal dunia.

"Yang lain ringan, 97 persen (kasus Covid-19) itu ringan. Jadi yang termasuk kasus ringan, enggak usah di rumah sakit, isolasi sendiri di rumah.
Kasian rumah sakit, kalau semua ngumpul di Rumah Sakit jadi over-capasity," katanya.
Dapat dilihat dalam grafik di bawah ini, jika tanpa intervensi, ada lebih dari 200.000 kasus Covid-19 yang memerlukan perawatan intensif di rumah sakit pada hari ke-70.

Dari empat skenario di atas, jika tanpa intervensi, angka kematian bisa mencapai 240.244 orang, dengan intervensi rendah 144.266 orang, intervensi moderat 47.984 orang, dan intervensi tertinggi 11.898 orang. (Kompas.com/ Gloria Setyvani Putri/ Gloria Setyvani Putri)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Skenario Terburuk Corona di Indonesia: Hampir 2,5 Juta Orang Perlu Perawatan Intensif"