ISI LENGKAP How Democracies Die Buku Viral Bacaan Anies Baswedan, Reaksi Istana, Fadli Zon, Pengamat
Mengapa Buku How Democracies Die bacaan Anies Baswedan memicu persepsi beda-beda istana, Fadli Zon, hingga pengamat politik? Ini dia isi lengkapnya.
TRIBUNMATARAM.COM - Mengapa Buku How Democracies Die, buku yang dibaca Anies Baswedan memicu sederet persepsi dan kontroversi?
Inilah isi lengkap buku 'How Democracies Die' yang ditulis dua profesor asal Universitas Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, dan begini reaksi dan respon beda-beda, mulai dari respon istana, Fadli Zon hingga pengamat.
Awalnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengunggah foto di media sosial Instagram, yang menunjukkan dirinya tengah bersantai dan membaca buku.
Foto tersebut diunggah Anies pada Minggu (22/11/2020) disertai keterangan sebagai berikut:
"Selamat pagi semua. Selamat menikmati Minggu pagi," tulis Anies.
Foto tersebut juga diunggah di akun Twitter Anies @aniesbaswedan dengan caption yang sama.
Foto itu kemudian ramai diperbincangkan oleh warganet di media sosial.
Mereka tertarik dengan judul buku yang tengah dibaca oleh mantan Menteri Pendidikan RI itu.
Buku itu berjudul " How Democracies Die" yang ditulis oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt.
Tentang buku How Democracies Die
Dilansir dari Goodreads, buku How Democracies Die diterbitkan pertama kali dalam versi bahasa Inggris pada 16 Januari 2018 oleh penerbit Crown Publishing Group.
Buku ini ditulis oleh dua profesor asal Universitas Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt.
Keduanya telah menghabiskan lebih dari 20 tahun mempelajari sejarah panjang demokrasi di Eropa dan Amerika Latin.
Dalam buku tersebut, Levitsky dan Ziblatt memaparkan bahwa demokrasi tidak lagi berakhir dengan cara-cara spektakuler, seperti revolusi maupun kudeta militer.
Namun, menurut mereka demokrasi akan mati secara perlahan dan pasti dengan matinya institusi-institusi kritis, seperti peradilan dan pers, serta pengeroposan norma-norma politik yang telah lama ada.
Berpijak pada penelitian selama puluhan tahun, dan berbagai contoh sejarah global, mulai dari Eropa tahun 1930-an, hingga era kontemporer Hungaria, Turki dan Venezuela, kedua profesor itu menunjukkan bagaimana demokrasi mati dan bagaimana ia dapat diselamatkan.
Buku How Democracies Die juga telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul "Bagaimana Demokrasi Mati" dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2019.
Perjalanan politik
Dilansir dari The Guardian, 24 Januari 2018, berdasarkan ulasan yang ditulis oleh David Runciman, How Democracies Die merangkum perjalanan politik otoriter di berbagai penjuru dunia, dan menemukan pola serupa yang terus berulang.
Para penguasa abad ke-21 tidak melenyapkan konstitusi dan menggantinya dengan tank di jalanan.
Mereka berbasa-basi kepada konstitusi sambil bersikap seolah-olah hal itu tidak ada.
Hal itu bisa dilihat, salah satunya, pada cara Vladimir Putin, presiden Rusia, secara legal menukar peran antara Presiden dengan Perdana Menteri, dan dengan demikian tetap taat pada konstitusi, sekaligus mempecundanginya.
Praktik serupa juga bisa dilihat pada cara Reccep Tayip Erdogan mempertahankan kekuasaannya di Turki, juga Viktor Orban di Hungaria, Nicolas Maduro di Venezuela, dan Narendra Modi di India.
Para penguasa itu memiliki pola yang sama, yakni mereka semua menjatuhkan lawan mereka sebagai kriminal, menunjukkan penghinaan terang-terangan atas kritik di media, memicu teori konspirasi tentang gerakan oposisi, dan mempertanyakan keabsahan suara yang menentang mereka.
Catatan sejarah
How Democracies Die, memberikan panduan berdasarkan catatan sejarah, tentang cara mempertahankan norma-norma demokrasi ketika ia berada di bawah ancaman, dan menunjukkan bahwa ancama itu bisa dilawan.
Seperti yang terjadi di Belgia pada tahun 1930-an, partai-partai arus utama dapat bersekutu melawan otoritarianisme.
Ketika itu, fasisme di Belgia berhasil dikalahkan berkat kesediaan partai Katolik sayap kanan untuk bergabung dengan kaum liberal.
Sementara itu, sejak Perang Dunia II berakhir, partai-partai sayap kiri dan kanan di Jerman telah menunjukkan kesiapan untuk bekerja sama daripada membiarkan ekstremisme mendapatkan pijakan dalam pemerintahan.
Di Chile, rezim otoriter Augusto Pinochet akhirnya dikalahkan pada 1989 oleh aliansi Demokrat Kristen dan Sosialis, yang bersama-sama berkomitmen untuk memelihara demokrasi.
Dengan demikian, keberlangsungan demokrasi membutuhkan politisi yang ingin menempatkan stabilitas jangka panjang di atas keuntungan jangka pendek.
Selain juga siap untuk mengakui bahwa akan selalu ada konsekuensi yang harus diterima dari sebuah tindakan yang telah diputuskan.

Persepsi Beda-beda Istana, Fadli Zon, Fahri Hamzah hingga Pengamat atas Buku Bacaan Anies
Sementara itu dari berbagai tokoh tak ketinggalan memberikan tanggapannya.
Pertama dari Politikus Gerindra, Fadli Zon.
Fadli Zon menirukan gaya Anies Baswedan.
Namun dirinya membaca buku dengan berjudul berbeda, meski masih tentang demokrasi.
Dirinya mengunggah foto dengan membaca buku 'Demokrasi Kita' tulisan dari Wakil Presiden pertama, Mohammad Hatta.
Disebutnya bahwa buku terbitan 1960 itu masih relevan untuk menggambarkan kondisi yang terjadi saat ini, khususnya berkaitan dengan demokrasi yang bersifat otoritarian.
"Sy baca ulang buku “Demokrasi Kita” karya Mohammad Hatta yg terbit 1 Mei 1960, 60 thn lalu. Kok masih relevan dengann keadaannya hampir sama dg skrg. Hatta kritik tajam pemerintahan Demokrasi Terpimpin yg otoritarian di bwh Presiden Soekarno. Buku kecil ini kemudian dilarang," tulis Fadli Zon.
Sementara itu mantan rekannya sebagai wakil ketua DPR, Fahri Hamzah justru mengatakan bahwa dirinya sudah lama mempersoalkan buku tersebut, yakni setahun yang lalu.
Hal itu dibuktikan dengan cuittan dari Fahri Hamzah pada tahun 2019 yang sudah membahas buku 'How Democracy Die' tersebut.
Dalam cuittan setahun lalu itu, Fahri Hamzah mengatakan nasib demokrasi ditentukan oleh kudeta militer dan sistem pemilihan umum.
"Sebetulnya itu adalah kesimpulan 2 guru besar universitas Harvard: Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt.
Dalam buku mereka yang terkenal “How Democracy Die”, mereka menuturkan bagaimana demokrasi bisa mati oleh kudeta militer atau oleh pemilu yang menaikkan para pemimpin curang," kata Fahri Hamzah.
Selain itu tak ketinggalan, Budiman Sudjatmiko juga turut memberikan komentarnya.
Dirinya mengakui lebih memilih orang yang membaca satu buku namun mendapatkan banyak pikiran, ketimbang banyak buku namun hanya sebatas menjadi kutipan belaka.
"Saya tak pernah terkesan dgn orang yg membaca buku sampai saya berdiskusi membedah isi dengannya.
Lebih baik orang membaca 1 buku & dia keluarkan banyak pikirannya sendiri ketimbang dia membaca banyak buku tp isi perkataannya cuma hasil kutipan buku yg dibaca," ucapnya.
Selanjutnya ada juru Bicara Presiden Joko Widodo (Jokowi), Fadjroel Rachman.
Dirinya mengunggah sebuah foto buku berjudul Democracy Without the Democrats.
Buku tersebut rupanya karya dari Fadjroel sendiri yang ditulis ketika dalam tahanan di Nusakambangan dan Sukamiskin.

"Perjuangan demokratisasi demokrasi itu perjuangan tanpa akhir. Perjuangan demokrasi sejak kemerdekaan, dihadang tahapan antidemokrasi hingga #Reformasi21Mei1998 dan sekarang terus membongkar lembaga, regulasi dan orang2 yang memanfaatkan demokrasi utk menghancurkan demokrasi ~ FR," tulis Fadjroel.
Lebih lanjut, ada juga tanggapan Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya dan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi.
Yunarto Wijaya kali ini justru memberikan sindiran kepada Anies.
Dirinya mengingatkan Anies terkait musibah banjir di musim hujan.
Oleh karenanya, ia meminta kepada Anies supaya lebih baik mengurusi pengerukan sungai.
"Pakgub lagi belajar cara membuat demokrasi mati? Mending urusin pengerukan sungai pak, mulai hujan mulu...," tulis Yunarto Wijaya.
Terakhir dari Burhanuddin memberikan masukan untuk menyelamatkan demokrasi.
"Kata penulis ini, agar demokrasi tidak mati, politisi sebaiknya tdk membangun electoral base dengan mengeksploitasi apa yg Jeff Flake sebut sbg “sugar high of populism, nativism, and demogaguery” ujarnya. (TribunNewsmaker.com/ *)
Diolah kembali dari artikel di Kompas.com dengan judul "Ramai Anies Baca Buku How Democracies Die, Buku Tentang Apa Itu?" dan TribunWow.com dengan judul: Anies Baswedan Baca Buku How Democracies Die, Lihat Reaksi Fadli Zon hingga Yunarto Wijaya