Derita Ribuan Guru Honorer, Gaji Tak Turun 5 Bulan Malah Disunat, Terpaksa Utang Sana-sini
Di tengah krisis pandemi Covid-19, bak jatuh tertimpa tangga itulah yang tengah dialami oleh ribuan guru honorer di Jambi.
TRIBUNMATARAM.COM - Derita gaji guru honorer di Jambi terpaksa hidup utang, gaji disunat, tak kunjung diberi selama lima bulan.
Di tengah krisis pandemi Covid-19, bak jatuh tertimpa tangga itulah yang tengah dialami oleh ribuan guru honorer di Jambi.
Ribuan guru itu mengalami kesulitan keuangan, setelah adanya pemotongan gaji selama pandemi.
Sebagian besar terpaksa berutang di warung-warung maupun tetangga, untuk menambal kebutuhan sehari-hari.
" Utang di warung itu sudah ratusan ribu. Untuk membeli susu anak, lauk pauk dan beras," kata SF, guru honorer SMK dari Muarojambi saat ditemui Kompas.com, Jumat (1/1/2021).
Seorang guru yang tinggal di rumah papan berukuran sekitar 5x6 meter ini, terus mengalami himpitan ekonomi selama pandemi.
Sementara gaji yang ditunggu tak kunjung cair, hampir lima bulan. Pada saat terima gaji pada akhir tahun, justru mendapat pemotongan.
"Gaji bulan Desember kami dipotong semua. Tidak ada solusi dari sekolah, karena urusan gaji ditangani orang dinas," kata SF menjelaskan.

SF menunjukkan surat edaran dari Dinas Pendidikan Provinsi Jambi. Lembaga yang mengurusi sekitar 6.000-an guru honorer SMA/SMK ini hanya menjelaskan, "Jumlah dana yang diusulkan melebihi dari sisa dana DPA APBD Jambi, sehingga sisa dana tidak cukup untuk membayar gaji guru dan tenaga tata usaha."
Baca juga: Bermula dari Cinta Bertepuk Sebelah Tangan Jadi Motif Penyiraman Air Keras Putri Guru Besar UGM
Baca juga: 5 Kisah Keprihatinan Guru di Pedalaman Indonesia, Gaji Habis untuk Beli Air, Tak Digaji 9 Bulan
Menurut SF pemotongan sebulan gaji, memang nominalnya tidak besar. Setiap guru dibayar Rp17.500 per jam. Apabila dalam seminggu mengajar 24 jam, tentu sebulan bisa mengantongi uang Rp 1,68 juta.
Gaji itu sungguh berarti, untuk membantu kebutuhan selama pandemi. Memang guru menerapkan pembelajaran daring, tetapi guru honorer diwajibkan ke sekolah, setiap hari.
"Kami tetap wajib ke sekolah. Tentu ada biaya minyak, makan dan internet untuk mengajar selama pandemi. Belum lagi kebutuhan dapur," keluh SF.
Untuk menyambung hidup, kata dia harus bekerja serabutan, mulai dari menjadi kuli panggul, memanen sawit, hingga jualan musiman.
Meskipun serba sulit, SF tetap bertahan selama tujuh tahun menjadi guru honorer. Sebab, dia ingin mencerdaskan anak-anak dari kampungnya.
Hal senada juga disampaikan DA, guru honorer di Sarolangun. Pemotongan gaji di tengah pandemi ini, memang kontras dengan yang dilakukan pemerintah, untuk memulihkan ekonomi.