Tanggapi Kudeta Militer di Myanmar, Pengungsi Rohingya: Mengutuk Tapi Tak Kasihani Aung San Suu Kyi
Pengungsi Rohingya turut memberikan tanggapan terkait kudeta militer di Myanmar.
Bahkan PBB mengartikan tindakan militer itu sebagai 'niat genosida'.
"Selama empat tahun terakhir, kami telah membicarakan tentang kembali dengan selamat ke tanah air kami di Myanmar, tetapi tidak ada kemajuan yang berarti," kata Arman.

Pemimpin komunitas Rohingya di kamp Thaingkhali, Sayed Ullah mengatakan tidak khawatir soal kudeta.
"Kami telah lama hidup di bawah rezim militer. Pemerintah sipil Aung Sun Suu Kyi tidak melakukan apa-apa untuk kami. Mereka tidak memprotes genosida yang terjadi di komunitas kami," katanya.
"Sekarang militer berkuasa, kami merasa proses pemulangan kami semakin terhenti."
"Tidak mungkin tentara membiarkan kami kembali ke tanah air kami," jelas Ullah.
Kudeta militer di Myanmar membuat risau pemerintah Bangladesh karena perjanjian pemulangan warga Rohingya kemungkinan akan terhenti.
Myanmar dan Bangladesh kerap berselisih soal proses repatriasi yang berulang kali terhenti.
Menteri Luar Negeri Bangladesh, AK Abdul Momen mengatakan perubahan rezim di Myanmar tidak serta merta menghalangi proses repatriasi.
"Kami harus menunggu dan melihat," katanya.
Joe Biden Angkat Bicara
Suu Kyi merupakan tokoh demokrasi Myanmar yang pernah meraih Nobel Perdamaian.
Kudeta militer terjadi dilatari sengketa hasil Pemilu November 2020 lalu, dimana Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) menang telak.
Hasil pemilihan ini ditentang militer dengan mengatakan ada kecurangan.
Setelah pemerintah sipil ditangkap, Jenderal Min Aung Hlaing mengambil alih negara dan memberlakukan keadaan darurat selama satu tahun.