Hal yang membuat muak adalah, warganet menghakimi mereka dengan fitnah menghina soal profesi yang mereka geluti.
Predikat "penari", di benak warganet, mengalami peyorasi makna membuat mereka bertiga dicap buruk oleh warganet berpikiran sempit.
"Tapi yang bikin sakit hati lagi bukan hanya fitnah soal pekerjaan saya dan mereka menghujat ibu saya," ujar dia.
• UPDATE Virus Corona di Indonesia, Pasien Meninggal Melonjak Jadi 29 Orang, Ini Daerah Terparah
"Waktu itu saya merasa sudah menularkan Covid-19 ke ibu saya, waktu itu saya nangis-nangis," lanjut Sita dengan suara tercekat menahan tangis.
"Whatsapp dan Twitter saat itu sangat buruk ke saya."
Kondisi mental yang buruk akhirnya berpengaruh pada kesehatan tubuhnya.
Sita mengaku berulang kali menggigil dan gemetar di ruang isolasi.
Sebuah hal yang buruk lantaran Covid-19 akan gampang menyerang saat tubuh lemah.
"Stigma orang-orang ke ibu dan Sita jelek banget di luar. Mereka lalu mem-private media sosialnya," ujar Ratri, yang merupakan penyintas kasus 03 Covid-19, dalam kesempatan yang sama.
Tak pelak, keadaannya makin hancur gara-gara serangan yang menderanya sana-sini melalui dunia maya.
Sita memutuskan mengunci akun-akun media sosialnya agar tak dapat diakses publik.
Walau ia sadar bahwa tindakan itu sedikit terlambat karena warganet telanjur membidik layar (screenshot) foto-fotonya.
Selama tujuh hari, Sita puasa media sosial, terutama Instagram dan Facebook.
Ia tak kuat melihat komentar-komentar warganet yang menyeramkan baginya saat itu.
"Tujuh hari saya ketakutan, orang-orang komentar yang menyalahkan saya, walau banyak yang dukung juga," ujar Sita.