Cerita Pilu Mbah Kasirah, Nenek Sebatangkara di Ngawi, Tak Dibantu Pemerintah karena Tak Punya E-KTP
Cerita pilu Mbah Kasirah, warga Desa Keras Wetan, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, hidup sebatangkara tak pernah dapat bantuan karena tak punya E-KTP.
TRIBUNMATARAM.COM - Cerita pilu Mbah Kasirah, warga Desa Keras Wetan, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, hidup sebatangkara bahkan tak pernah dapat bantuan karena tidak punya E-KTP.
Tubuh renta Mbah Kasirah (89) warga Desa Keras Wetan, Kabupaten Ngawi Jawa Timur hanya bisa tergolek di atas kasur usang yang berdebu.
Mbah Kasirah hidup sebatangkara dan hanya mengandalkan uluran tangan dari para tetangga yang bersedia merawatnya.
Lima tahun terakhir dia menderita sakit pada tenggorokan dan hanya bisa tidur terlentang karena untuk tidur miring lehernya akan terasa sakit.
Untuk memenuhi kebutuhannya, Mbah Kasirah yang hidup sebatang kara hanya menanti belas kasihan tetangga sekitarnya.
• Kata Nikita Mirzani Soal Elza Syarief Sebut Dirinya Informan Polisi Terkait Narkoba Selebriti
• 6 Fakta Pembunuhan & Pemerkosaan Gadis Baduy Ditinggal Kakak Mencari Burung, Perlawanan Kuat Korban!
• Viral Video Pengeroyokan Guru di Depan Murid di Gowa Sulsel, 2 Pelaku Terancam 7 Tahun Penjara
• Sederet Selebriti Beri Dukungan, Bima Aryo Akhirnya Buka Suara Soal Anjing yang Serang ART-nya
Suharno menambahkan, 20 tahun terakhir Mbah Kasirah tinggal di rumah kosong milik saudaranya.
Meski mengalami kebutaan saat remaja, namun Mbah Kasirah tergolong perempuan rajin karena sebelum sakit dia masak dan membersihkan sediri rumah tempat tinggalnya.
“Karena buta kerjanya ya bersih bersih rumah sama masak.
Kebutuhan hidupnya ya menunggu ada warga yang ngasih,” imbuhnya.

Mbah Kasirah mengaku tidak bisa bangun.
Untuk makan dan minum dia lakukan sendiri dengan cara tiduran.
Dia mengaku tenggorokannya terasa sakit saat menelan makanan maupun minum.
“Sakit di leher sebelah kanan ini.
Nggak bisa bangun, makan ya sambil tiduran,” ujarnya.
Mbah Kasirah mengaku mengalami kebutaan sejak remaja.
Dia hanya bisa berharap pada bantuan warga karena hidup sebatang kara.
“Kalau makan ya nunggu ada warga yang ngasih,” tambahnya.
• Renggut Nyawa Olga Syahputra, Kini Menyerang Aldi Taher & Ria Irawan, Cegahlah Kelenjar Getah Bening
• Barbie Kumalasari Ngaku Jago Bahasa Inggris, Istri Galih Ginanjar Unjuk Kebolehan ke Boy William
• Vicky Prasetyo DM Instagram Tamara Bleszynski, Begini Reaksi Teuku Rassya Mengetahuinya
• Sebelum Pacaran dengan El Rumi, Ternyata Marsha Aruan Ngaku PDKT dengan Al Ghazali Lebih Dulu
Meski hidup sebatang kara dan hidup dari belas kasihan warga, namun Mbah Kasirah tidak pernah menerima bantuan dari pemerintah.
Kaur Umum Desa Keras Wetan Sukamto mengatakan, pihak desa sudah mengusulkan nama Mbah Kasirah kedalam daftar penerima bantuan, namun sampai saat ini nama Mbah Kasirah tidak pernah muncul sebagai penerima bantuan.
“Masalahnya Mbah Kasirah itu tidak mempunyai e-KTP, karena syarat untuk mendapatkan bantuan harus mempunyai e-KTP,” ujarnya saat ditemui di kantor desa.
Plt Sekertaris Desa Keras Wetan Gunari mengatakan, Mbah Kasirah memang memiliki KTP, namun saat perekaman dan foto e-KTP Mbah Kasirah tidak datang sehingga tidak memiliki e-KTP.
Dia mengaku perangkat desa sudah mendatangi mbah Kasirah dan menyerahkan bantuan hasil dari patungan para perangkat.
“Sejak ramai di medsos kemarin kami sudah mendatangi Mbah Kasirah dan menyampaikan bantuan.
Kita harapkan warga nanti melapor kalau kebutuhan pampers Mbah Kasirah habis,” katanya.
Gunari mengaku, tahun ini pemerintah desa juga mengusulkan kembali nama mbah Kasirah ke dalam keluarga yang berhak mendapat bantuan.
“Sudah kami usulkan, tapi yang berhak menentukan kan pemerintah pusat,” pungkasnya. (Kompas.com/Kontributor Magetan, Sukoco)
Kisah Pilu Wardi, Kakek Buta Sebatangkara di Ngawi Hidup di Pos Ronda, Cari Rongsokan untuk Hidup
TRIBUNMATARAM.COM - Cerita pilu Wardi, kakek buta asal Ngawi. Jawa Timur, hidup sebatangkara di sebuah pos ronda, cari rongsokan untuk hidup.
Wardi menjadi salah satu bukti nyata kemiskinan masih menjamur di Indonesia.
Berikut cerita lengkap kakek Wardi, hidup sebatangkara, buta sejak muda karena terlalu giat bekerja.
Kini, Wardi hanya mengandalkan barang rongsokan untuk hidup meski fisiknya tak lagi mendukung.
Pos kamling berukuran 2X3 meter di Desa Jambangan Kabupaten Ngawi Jawa Timur terlihat sepi, hanya sebuah sepeda tua dan beberapa barang rongsokan yang berceceran di bawah dipan usang yang berlapis plastik bekas baliho kampanye.
• Meski Tertutup, Pernikahan Glenn Fredly & Pedangdut Mutia Ayu Berlangsung Khidmat dengan Pemberkatan
• Kronologi Ibu Hamil Diberi Obat Kedaluwarsa oleh Puskesmas, Sudah Telan 38 Butir Lalu Muntah-muntah
• Cerita Lengkap Ibu Hamil Dapat Obat Kedaluarsa dari Puskesmas, Ada Dua Versi Berbeda Soal Obat RS
• 5 Fakta Ibu Hamil Dapatkan Obat Kedaluwarsa dari Puskesmas, Suaminya Dipecat karena Urus Sang Istri!
Kompas.com yang menyambangi “kediaman” Wardi (76) tak menemukan keberadaan kakek sebatang kara yang mengalami kebutaan pada kedua matanya tersebut.
“Kalau tidak ada biasanya keliling nyari rosok atau nyari pasir di sungai.
Coba cari di sungai di Utara desa,” ujar Marinem, tetangga di kediaman Mbah Wardi, Senin (19/8/2019).

Kompas.com kemudian menyusuri jalan desa menuju arah yang ditunjukkan Marinem.
Di sebuah hamparan persawahan di utara desa terlihat Wardi menenteng sebuah tape recorder tua dengan dibonceng sepeda motor warga desa.
Setelah berbincang sejenak terkait tujuan Kompas.com bertemu, Mbah Wardi mempersilakan berkunjung ke kediamannya.
“Saya sudah hampir 20 tahun tinggal di pos ronda ini, sebelumnya tinggal di samping pagar warga,” katanya.
Yatirin, pemilik warung di depan pos ronda yang ditinggali Mbah Wardi mengaku lebih dari 7 bulan pria yang kedua matanya buta tersebut tinggal di bawah pagar warga.
• Heboh Kakek 83 Tahun di Tegal Nikahi Gadis 27, Cinta Lama Yuni Shara dan Raffi Ahmad Tak Seberapa?
• Glenn Fredly & Pedangdut Mutia Ayu Gelar Pernikahan Tertutup, Monita Tahalea hingga Saykoji Hadir
• ZODIAK BESOK Ramalan Zodiak Rabu 21 Agustus 2019, Aries Stop Berdebat, Leo Berkuasa, Virgo Waspada
• Jangan Lewatkan Sholat Duha Pagi Ini, Ustaz Abdul Somad Jelaskan Keutamaan, Pahala, Niat & Tata Cara
Karena sering kehujanan, Mbah Wardi kemudian pindah ke pos ronda di Dukuh Mbebegan yang sudah lama tidak di fungsikan sampai saat ini.
“Sifatnya itu tidak mau merepotkan orang lain.
Ini pos ronda juga bocor kalau musim hujan, dia tidurnya di emperan rumah saya, disuruh masuk ya tidak mau,” ucapnya.
Mbah Wardi memilih hidup menggelandang dari pos ronda ke posa ronda lainnya setelah istrinya meninggal saat dia berusia 35 tahun.
Dulu, Mbah Wardi memiliki gubuk di lahan pinjaman di dukuh Jambangan Kulon, namun karena roboh dia akhirnya menggelandang tak tentu arah.
“Rumah warisan orangtua yang ninggali kakak saya, daripada merepotkan orang lain saya tinggal di pos ronda saja,” tambahnya.
Dari perkawinannya, Wardi mempunyai 3 orang anak, satu di antaranya meninggal dunia.
Karena kemiskinan, kedua anak Wardi dipelihara oleh adiknya di luar kota.
Saat ini, kedua anaknya tak ada di Ngawi, anak keduanya tinggal di Kota Jambi.
“Saya tidak mau merepotkan anak karena saya dulu tidak bisa membahagiakan mereka karena tidak punya apa apa.
Saya kerja keras tapi tidak cukup untuk memberi penghidupan yang layak kepada mereka,” katanya.
Buta karena kerja terlalu keras
Wardi mengalami kebutaan ketika berumur 35 tahun.
Dari diagnosa dokter mata di Kota Madiun, kebutaan yang dialami karena syaraf mata Wardi mengalami kerusakan yang diakibatkan kerja yang terlalu keras.
Karena lahir dari keluarga yang tidak mampu membuat Wardi harus bekerja keras sebagai buruh tani dan buruh penggali pasir.
Beban kerjanya semakin berat karena harus menghidupi keluarganya.
“Berobatnya di Madiun sampai di Yogyakarta.
Dokter bilang syaraf matanya rusak karena terlalu banyak kerja,” ujarnya.
Meski mengalami kebutaan pada kedua matanya, di usia senjanya Wardi masih harus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan makan sehari-hari.
Pekerjaan berat sebagai buruh tani dan mencari pasir di sungai terpaksa masih dilakoni.
Karena saat ini pasir sungai di desanya mulai habis, Wardi memilih bekerja apa saja termasuk jual beli sepeda bekas, tape recorder hingga jualan barang rongsok termasuk makelar sepeda motor.
Tidak bisa dipastikan berapa hasil dari berjualan barang rongsok yang dijalaninya setiap hari.
Kadang barang dagangannya hanya dibarter dengan barang lain tanpa mendapat uang.
Seperti pagi itu, Wardi rela menukar sepeda mini yang dibawanya keliling kampung dengan sebuah tape recorder karena salah satu warga membutuhkan sepeda mini untuk anaknya.
“Ditukar saja tadi tida ada uangnya.
Kira kira harganya seratus ribu ini tape, nanti dijual berapa lah yang penting diatas 100 ribu,” katanya.
Meski sering tak mendapat untung dalam jual beli barang rongsokan, Mbah Wardi enggan merepotkan warga lain disaat perutnya lapar.
Dia memilih menahan lapar daripada harus merepotkan orang lain.
“Kalau punya uang dia pasti beli, tidak mau dikasih.
Kadang dia memilih menahan lapar, meski kita kasih tidak mau,” ujar Isminah pemilik warung di depan pos ronda tempat tinggal mbah Wardi.
Meski mengalami kebutaan pada usia 35 tahun, Mbah Wardi tidak pernah kesulitan bepergian untuk mencari pembeli maupun mencari barang rongsok untuk dijual keiling kampung .
Dia mengaku cukup hafal dengan jalan jalan di desanya, bahkan jalan di 5 desa sekitar desa Jambangan dia masih mengingat.
“Rabanya pakai kaki. Kalau arah ke mana seperti diingatkan.
Seperti mau ke Desa Kebon itu arahnya ke sana, kalau Desa Jambangan kulon arahnya ke sana seperti di tuntun.
Susahnya kalau ketemu mobil selep padi, dengar suara ribut saya bingung tadi arahnya kemana,” katanya.
Tak pernah dapat bantuan pemerintah karena tidak punya KTP
Meksi hidup terlunta lunta dan mengalami kebutaan, Wardi tidak pernah menerima bantuan apapun dari pemerintah.
Dia mengatakan, tidak membutuhkan bantuan dari siapapun selagi dia bisa mencari sendiri kebutuhan hdupnya.
“Kalau dirasakan ya susah, tapi saya ikhlas menjalaninya.
Yang penting masih bisa berusaha,” ucapnya.
Meski lahir di Desa Jambangan, Wardi ternyata tak pernah memiliki Kartu Tanda Penduduk KTP.
Dia mengaku enggan mengurus KTP karena kesulitan untuk mengurus sejumlah persyaratan yang harus dilengkapi.
Dengan kondisinya yang buta dia hanya pasrah jika tidak memiliki KTP.
Sayangnya nasib tidak memiliki KTP tidak diketahui oleh perangkat Desa Jambangan.
Pejabat Sekertaris Desa Jambangan Masroh mengaku tahu jika ada warganya yang mengalami kebutaan dan harus bekerja sebagai buruh penggali pasir, namun tidak tahu jika Mbah Wardi tidak memiliki KTP.
Dia mengaku akan meminta kepala dusun untuk memastikan jika Mbah Wardi memang benar benar tidak memiliki KTP.
“Tahu saya kalau Mbah Wardi yang kerjanya mencari pasir, tapi kalau tidak punya KTP saya baru dengar dari Bapak, ” katanya. (Kompas.com/KONTRIBUTOR MAGETAN, SUKOCO)