Cerita Dokter Mangku Sitepoe, Cuma Patok Rp 10 Ribu per Pasien, Ditipu saat Buka Pengobatan Gratis
Cerita Mangku Sitepoe, dokter yang hanya memungut Rp 10 ribu bagi pasiennya mendadak viral.
TRIBUNMATARAM.COM - Cerita Mangku Sitepoe, dokter yang hanya memungut Rp 10 ribu bagi pasiennya mendadak viral.
Rupanya, perjalanan Mangku Sitepoe untuk mengabdi kepada masyarakat yang membutuhkan dengan kemampuannya sebagai dokter tak lantas menemui jalan yang mulus.
Mangku Sitepoe bahkan pernah ditipu oleh sejumlah pasien yang berpura-pura sakit ketika ia tidak memungut biaya sepeserpun, begini kisah lengkapnya.
Mangku Sitepoe (84) dikenal sebagai dokter yang mematok biaya Rp 10.000 untuk pasien yang berobat kepadanya.
Setiap Rabu dan Sabtu, ia berpraktik di Klinik Pratama Bhakti Sosial Kesehatan St Tarsisius, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Pengabdian dokter Mangku telah dimulai sejak 1995. Hingga kini, banyak peristiwa yang telah ia lalui sebagai dokter yang mengabdi untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
• Viral Video 2 Wanita Lakukan Flying Fox Motor, Lokasi Terungkap di Riau, Faktanya Memprihatinkan
• Selasa Terkelam bagi Nenek Viral yang Gendong Jenazah Cucu di Cilincing, Merasa Ditolong Malaikat
• Jadi Tersangka Dugaan Korupsi Dana Hibah Koni, Ini Dia Peranan Menpora Imam Nahrawi
• Sidang Kasus Narkoba Dihadiri Mantan Kekasih, Jefri Nichol Tersenyum: Alhamdulillah
Berikut beberapa fakta yang perlu diketahui tentang sosok dokter Mangku:
1. Menolong sesama karena gagasan altruisme
Dokter Mangku tergerak untuk melakukan perbuatan baik dan menolong sesama karena kepercayaannya pada gagasan altruisme.
Gagasan altruisme menyatakan bahwa setiap individu yang berakal sehat memiliki keinginan untuk mengabdikan dirinya bagi sesama tanpa pamrih.
Atas dasar itulah, dokter Mangku dan rekan-rekannya mendirikan klinik pengobatan untuk melayani masyarakat berpenghasilan rendah.
Selain itu, ia juga percaya, keinginan untuk menolong orang lain akan membuahkan hasil yang baik.
"Saya kira kita ingin berbuat untuk sesama, banyak juga yang ingin memperhatikan kita," kata dia.
2. Bermula sebagai dokter hewan
Sebelum menjadi dokter umum, Mangku adalah seorang dokter hewan.
Ia mengeyam pendidikan untuk menjadi seorang dokter hewan di Universitas Gadjah Mada.
Pada akhir masa perkuliahannya, ia juga sempat melalukan praktik di Denmark.
Ketika kembali ke tanah asalnya di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, warga sekitar meminta bantuannya untuk mengobati penyakit mereka.
Hal itu disebabkan oleh minimnya jumlah dokter umum yang praktik di sana pada masa itu.
Akhirnya, meski berstatus sebagai dokter hewan, ia mulai mengobati pasien manusia di sekitar tempat tinggalnya.
Setelah beberapa tahun, Mangku melanjutkan pendidikan untuk menjadi dokter umum di Universitas Sumatera Utara.
3. Pernah ditipu oleh pasiennya
Dari 1995 sampai 2000, Mangku tidak memungut biaya sepeser pun dari pasien.
Seluruh layanan kesehatan, termasuk obat-obatan, ia berikan secara cuma-cuma.
Sayangnya, kebaikan dokter Mangku disalahgunakan oleh beberapa pihak.
Ia mengaku, sejumlah pasien yang datang padanya berpura-pura sakit dan meminta obat.
Lalu, obat tersebut dijual kembali untuk keperluan pribadi mereka.
"Tahu apa yang diperbuatnya? Obat itu dijual lagi. Banyak, bukan sedikit," ujar dokter Mangku.
Sejak saat itu, Mangku dan rekan-rekannya memutuskan untuk menetapkan biaya pengobatan sebesar Rp 2.500 untuk setiap pasien.
Kini, biaya pengobatan kepada Mangku telah naik menjadi Rp 10.000. (Kompas.com/Hilel Hodawya)
Suplai Obat Dihentikan, Rumah Sakit Tagih Tunggakan BPJS Kesehatan, Capai Rp 6,5 Triliun selama 2019
TRIBUNMATARAM.COM - Suplai obat mulai distop, rumah sakit tagih tunggakan BPJS Kesehatan yang capai Rp 6,5 triliun selama 2019.
Pihak Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) akhirnya menuntut tunggakan BPJS Kesehatan yang membuat suplai obat dihentikan.
Tak tanggung-tanggung, Persi menagih tunggakan BPJS Kesehatan yang mencapai Rp 6,5 triliun pada 2019.
Anggota Kompartemen Jaminan Kesehatan Persi Odang Muchtar mengatakan, BPJS Kesehatan kerap menunggak pembayaran JKN selama 4 bulan.
• Khansa Athira Teridentifikasi, Mahasiswi ITB Korban Tewas Tol Cipularang Tak Sempat Selesaikan Tesis
• Gara-gara Ketahuan Berbuat Mesum dengan Pacar, Remaja di Padang Dipaksa Layani Nafsu Bejat 4 Buruh
• Kronologi Kecelakaan Tewaskan Adik Boy William, Raymond Hartanto Luka Parah Setelah Tabrak Tembok
• Ini Dia Sosok Cucu BJ Habibie yang Digadang-gadang Jadi Penerus Suami Ainun, Muhammad Pasha
" Tunggakan yang ada sekarang bagaimana dalam waktu sesingkat-singkatnya segera dibayar," ujarnya dalam diskusi di Gedung Ombudsman, Jakarta, Kamis (12/9/2019).
Bila hal ini terus didiamkan kata Odang, maka rumah sakit akan mengalami stunting. Sebab margin tipis dan peluang investasi terganggu oleh tunggakan BPJS Kesehatan.
Oleh karena itu rumah sakit membutuhkan uang tunai untuk operasionalnya.
Bahkan kata dia, akibat tidak memiliki uang tunai yang cukup akibat tunggakan BPJS Kesehatan, ada rumah sakit yang suplai obatnya sampai diputus oleh suplier.
"Perhatian kita segera lah bisa bayar tunggakan BPJS Kesehatan terpenuhi sampai obat kita distop supplier obat. Kalau iuran naik, darah BPJS juga baik," kata dia.
Ia meminta Ombudsman mendorong BPJS Kesehatan atau Kementerian Keuangan agar sesegera mungkin membayar tunggakan program JKN. (Kompas.com/ Yoga Sukmana)
BPJS Alami Defisit Hingga Puluhan Triliun, Kementrian Keuangan Usul Biaya Iuran Dinaikkan
Iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan akan dinaikan demi tutupi biaya defisit BPJS yang capai puluhan triliun!
TRIBUNMATARAM.COM - Kementerian Keuangan memberikan usulan kenaikan pembayaran iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan, besaran kenaikan iuran tersebut mencapai 100 persen.
Artinya, peserta JKN kelas I yang tadinya hanya membayar Rp 80.000 per bulan harus membayar sebesar Rp 160.000.
Kemudian untuk peserta JKN kelas II yang tadinya membayar Rp 110.000 dari yang sebelumnya Rp 51.000.
Sementara, peserta kelas mandiri III dinaikkan Rp 16.500 dari Rp 25.500 per bulan menjadi Rp42 ribu per peserta.
Sebelumnya, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sempat mengusulkan adanya kenaikan iuran peserta kelas I menjadi Rp 120.000 sementara kelas II Rp 75.000 dan kelas III di angka yang sama untuk mengatasi masalah defisit yang telah melanda BPJS Kesehatan sejak tahun 2014.
• 5 Fakta Jasad Suami & Anak di Mobil Dibakar, Motif Utang Pelaku yang Miliaran Hingga Bayar Pembunuh
• Ibu Kota Baru di Kalimantan Timur, Isu Kongkalikong dengan Perusahaan Swasta dan Deal Politik!
• Reino Barack Nikahi Syahrini, Luna Maya Akhirnya Introspeksi, Feni Rose: Kapan Kamu Sadarnya?
• Awal Mula Perkenalan Roger Danuarta & Cut Meyriska Hingga Jadian, Syahnaz Jadi Saksi Cinta Mereka
"Kami mengusulkan kelas II dan kelas I jumlah yang diusulkan DJSN perlu dinaikkan.
Pertama, itu untuk memberi sinyal yang ingin diberi pemerintah ke seluruh universal health coverage standard kelas III kalau mau naik kelas ada konsekuensi," ujar Sri Mulyani ketika melakukan rapat bersama dengan Komisi IX dan Komisi XI DPR RI di Jakarta, Selasa (27/8/2019).
Berpotensi Defisit Rp 32,8 Triliun
Sri Mulyani menjelaskan, jika jumlah iuran tidak dinaikkan, defisit BPJS Kesehatan yang tadinya diperkirakan mencapai Rp 32,8 triliun, dari yang sebelumnya Rp 28,3 triliun.
Perhitungan defisit tersebut sudah memperhitungan besaran defisit tahun lalu yang mencapai Rp 9,1 triliun.
"Apabila jumlah iuran tetap sama, peserta seperti ditargetkan, proyeksi manfaat maupun rawat inap dan jalan seperti yang dihitung, maka tahun ini akan defisit Rp 32,8 triliun, lebih besar dari Rp 28,3 triliun," ujar dia.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mengatakan, sebenarya terdapat opsi lain untuk menyelamatkan BPJS Kesehatan, yaitu dengan menyuntikkan dana segar.
Namun, dampak dari penyuntikan tersebut tidak akan berkelanjutan.
"Kalau untuk suntikan saja, misalnya ya Rp 10 triliun, akuntabilitasnya lemah.
Makanya, harus ada perbaikan seluruhnya," ujar Sri Mulyani.
Untuk menambal defisit tersebut, pemerintah pun telah membayarkan iuran seluruh peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) sekaligus TNI, Polri dan ASN sepanjang tahun 2019 yang seharusnya dibayarkan setiap bulan.
Hingga saat ini pun, BPJS Kesehatan masih memiliki utang jatuh tempo lebih dari Rp 11 triliun.
"Dengan seluruh yang sudah kita bayarkan di 2019, BPJS masih bolong.
Sekarang sudah ada outstaning lebih dari Rp 11 triliun belum terbayar, sementara pemasukan dari pemerintah sudah semua masuk," ujar Sri Mulyani.
Terdapat beberapa opsi yang bakal dilakukan pemerintah untuk bisa menyehatkan kondisi keuangan BPJS Kesehatan.
BPJS Kesehatan pun telah mendapatkan beberapa rekomendasi dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mulai dari persoalan kepesertaan hingga cleansing data penerima manfaat.
Jika BPJS menerapkan berbagai rekomendasi tersebut, Sri Mulyani memperhitungkan badan tersebut hanya akan mendapat tambahan sebesar Rp 5,01 triliun.
"BPJS masih akan bolong tahun ini," ujar dia.
Sri Mulyani mengungkapkan, dengan usulannya tersebut maka pada tahun 2020 bisa menyelesaikan sisa defisit sekitar Rp 14 triliun di tahun 2019.
Bahkan, BPJS berpotensi mencetak surplus sebesar Rp 17,2 triliun sehingga tersisa Rp 3 triliun jika menambal defisit tahun sebelumnya.
Surplus tersebut bakal masih berlanjut di tahun -tahun berikutnya.
Untuk 2021, 2022, sampai 2023 proyeksi berdasarkan jumlah peserta dan utilisasi, di masing-masing tahun BPJS bakal surplus Rp 11,59 triliun, Rp 8 triliun, dan Rp 4,1 triliun.
"Itu yang kita usulkan sehingga mungkin untuk menyelesaikan situasi hari ini dan memperbaiki dari proyeksi cashflow BPJS," sambungnya.
Tanggapan AnggotaDPR
Banyak anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang hadir dalam rapat bersama tak sepakat iuran BPJS Kesehatan naik dua kali lipat seperti yang diusulkan Sri Mulyani.
Menurut mereka, dengan dinaikkannya nilai iuran, peserta justru bakal kian malas membayar, jumlah peserta yang menunggak pembayaran iuran bakal semakin meningkat.
"Setiap kenaikan apapun yang mengalami kenaikan yang cukup drastis harus dimitigasi oleh pemerintah.
Saya tidak sepakat kalau kenaikannya 100 persen," ujar Ichsan Anggota Komisi XI Ichsan Firdaus.
Sebab, masyarakat bisa saja justru lebih memilih menggunakan perusahaan asuransi swasta ketimbang menjadi peserta di BPJS Kesehatan karena perbedaan tarifnya semakin kecil.
Bila itu terjadi, maka lembaga itu akan kehilangan pangsa pasarnya.
• 6 Fakta Kerushan di Deiyai, Papua karena Rasisme yang Sempat Terjadi, 1 TNI dan 2 Warga Tewas
"Perlu dilihat apakah masyarakat mampu atau tidak. BPJS Kesehatan kan bersaing dengan perusahaan asuransi swasta," tegas dia.
Adapun Anggota Komisi IX Mafirion mengatakan, tidak ada artinya iuran BPJS Kesehatan jika tidak ada perbaikan tata kelola lembaga.
"Saya kira usul kenaikan iuran akan sia-sia apabila tidak diikuti dengan tata kelola kita sebagai badan pelayanan publik. Tata kelola perlu diperbaiki karena itulah sumber masalah yang utama," ujar dia. (Kompas.com/Mutia Fauzia/Bambang Priyo Jatmiko)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Naikkan Iuran, Solusi Sri Mulyani Tambal Defisit BPJS Kesehatan"