Proses Evakuasi 4 Bocah Alami Gizi Buruk & Kuper, Tinggal dengan Ibu Pengidap ODGJ, Ayah Pemarah
Proses evakuasi empat bocah yang alami gizi buruk dan kurang pergaulan, ibu alami gangguan jiwa, ayah pemarah.
TRIBUNMATARAM.COM - Proses evakuasi empat bocah yang alami gizi buruk dan kurang pergaulan, ibu alami gangguan jiwa, ayah pemarah.
Akhirnya Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPPAPPKB) Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara berhasil menyelamatkan empat orang bocah gizi buruk.
Keempatnya bahkan tidak pernah merasakan nikmatnya makan dengan lauk pauk yang layak.
Baca juga: Cerita Sarlan, Bocah 6 Tahun Berbobot 10 Kg, Alami Gizi Buruk Dirawat Ibu yang Gangguan Jiwa
Baca juga: POPULER Ibu Pamit Beli Sabun, 4 Anak Kelaparan & Gizi Buruk, Ternyata Pilih Hidup dengan Pacar
Mereka asalah bagian dari satu keluarga dengan 4 orang anak yang alami gizi buruk dan kurang pergaulan (kuper) di Desa Balansiku, Sebatik.
R (7), S (5), I (3) dan Sup (1), tinggal di rumah kebun tak terawat dan di bawah asuhan ibu yang mengalami gangguan psikologi atau orang dengan gangguan jiwa ( ODGJ).
Selama ini, mereka hanya makan nasi dan sayur tanpa ada lauk apapun yang menyertainya sehingga mereka tidak mengerti lauk pauk selain sayuran hijau.
Ibu mereka bernama Rosnaeni (26) tidak mengerti bagaimana mengurus anaknya dan tak memperdulikan tingkah polah anak sama sekali.
Dia bahkan pernah 1 tahun tidak mandi, suasana rumah berantakan tidak terurus, pakaian bersih dan kotor bertumpuk menjadi satu, dan perabot serta bekas makan anak-anak terhambur tidak karuan.
‘’Awalnya ada laporan ke kami di DPPPA pada akhir 2019, ada keluarga yang tidak tahu cara mengurus anak, pampers si anak sampai berulat, sehingga kami fokus untuk itu.’’ujar kepala Dinas DPPPAPPKB Nunukan Faridah Aryani, Jumat (23/10/2020).
Saat ditemukan, anak-anak tersebut sama sekali tidak tahu apapun, mereka tak sekalipun pernah diajari apa itu warna, apa itu abjad, atau nama nama benda.
R yang merupakan anak tertua sekalipun tidak tahu apa itu pensil dan bagaimana menggunakannya.
Demikian juga saat petugas dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kaltara dan Puskesmas Balansiku memberi mereka makanan dengan menu sayur asem dan ikan, anak-anak tersebut menyingkirkan jagung dan ikan. Mereka hanya menyuapkan nasi dan sayurnya saja.
"Kami coba suapkan ikan supaya dia rasa, begitu terasa enak baru dia makan. Begitu juga jagung, kita suapkan dulu dan akhirnya mereka makan, sampai segitunya, mereka tidak tahu ikan goreng,’’katanya.
Tidak mengherankan, pola hidup mereka akhirnya didapati gizi buruk.
Rosnaeni tidak pernah melakukan apapun selain masak nasi dan merebus sayuran.
Hal ini, kata Faridah, tidak lepas dari penghasilan sang ayah, Herman, dari pekerjaan menombak buah kelapa sawit.
Dia menjadi buruh tombak dengan penghasilan Rp150.000 per ton. Padahal dalam sebulan ia hanya menombak buah kelapa sawit dua kali saja.
Untungnya pemilik kebun menanggung kebutuhan beras bagi keluarga Herman.
Rosnaeni istri ketujuh dan sering mengalami KDRT
Rosnaeni terpaut usia cukup jauh dengan suaminya Herman (52). Keduanya menikah saat sama-sama menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal di Sabah Malaysia.
Faridah mengatakan, sebab gangguan psikologi Rosnaeni tengah didalami.
Sebab, dari data yang didapat saat berkunjung ke rumah kebun yang berjarak sekitar 3 kilometer dari jalan raya ini, Rosnaeni sering mengalami siksaan fisik dan kekerasan dari Herman.
‘’Dari hasil obrolan psikolog, ibunya anak-anak ini istri ketujuh, kita juga belum tahu apakah Herman ini maniak atau bagaimana, info yang kita dapat ini perkawinannya yang ketujuh, istrinya ngaku sering kena pukul, bisa jadi itu salah satu sebab dia depresi,’’tuturnya.
Kemungkinan lain adalah, Rosnaeni pernah mengalami guncangan hebat saat anak ketiganya yang belum berusia setahun meninggal dunia.
Keluarga ini selalu tinggal terasing di dalam kebun sawit yang jauh dari tetangga sehingga interaksi dan sosialisasi sangat jarang, yang dimungkinkan juga menjadi sebab mengapa Rosnaeni mengalami goncangan batin.
‘’Selain itu pernah ada masalah saat melahirkan, dari penjelasan petugas puskesmas ada riwayat medis kalau darah putihnya sempat naik. Jadi kalau darah putih naik ke kepala saat perempuan melahirkan itu bisa mengakibatkan buta atau meninggal dunia, kemungkinan itu juga masih kami dalami,’’lanjutnya.
Dengan sekian banyaknya kemungkinan yang ada, petugas P2TP2A akan melakukan pendampingan dan konseling. Psikolog akan mencoba mengembalikan rasa percaya diri dan kesadaran Rosnaeni bahwa dia adalah seorang ibu yang memiliki anak dan membutuhkan perhatian orang tua.
‘’Sayangnya upaya penanganan keluarga ini sempat terhenti akibat pagebluk Covid-19, dan baru kembali fokus sebulan belakangan.’’lanjutnya.
Suami tidak rela istrinya diobati
Usaha untuk membawa Rosnaeni ke Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) Nunukan terhalang oleh tingkah Herman yang plin plan.
Saat petugas Puskesmas dengan pendampingan Bhabinkamtibmas datang, Herman sempat setuju asal istrinya bisa sembuh.
Namun ketika Rosnaeni dibawa petugas dan rambut gimbalnya yang sudah sekian tahun tidak pernah dicuci kemudian dipangkas dan dimandikan serta diberi pakaian bagus, Herman tiba tiba menolak upaya petugas.
‘’Dia diam saja saat ditanya, dia ambruk, badannya dibuatnya kaku, saat diangkat petugaspun dia bikin badannya tegang supaya susah diangkat, akhirnya kita batalkan, karena untuk membawa Rosnaeni butuh persetujuan suami, kita takutnya nanti suaminya berbuat yang aneh aneh atau bunuh diri,’’sebutnya.
Sementara untuk R dan S, petugas sudah berhasil merayu mereka agar mau bersekolah dan dititipkan di Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) Ruhama.
Setelah beberapa hari berada di LKSA Ruhama, kedua anak tersebut sudah mulai adaptasi dengan anak anak sebaya mereka, bahkan saat ini keduanya sudah betah dan tidak mau pulang.
‘’Untuk dua anak lainnya masih harus sama ibunya, rencananya akan kami bina dan konseling di RPTC, makanya kita lagi usaha merayu suaminya agar menyetujui pengobatan istrinya, sampai sekarang kami masih kesulitan,’’kata Faridah.
Dibuatkan KTP dan sering dapat bantuan warga sekitar
Keluarga yang terasing dan terkesan jauh dari peradaban ini sebenarnya sudah lama di pulau Sebatik, diperkirakan sudah sekitar 7 tahunan.
Domisili mereka yang selalu berpindah pindah dari satu kebun ke kebun lainnya membuat keluarga ini baru diketahui 3 tahun belakangan oleh warga Balansiku Sebatik.
Kepala Desa Balansiku Firman menuturkan, pasangan suami istri dari Sulawesi ini dilaporkan warga setempat saat melihat anak anak tidak terurus dan tinggal di rumah kebun yang berantakan.
‘’Mereka eks TKI Malaysia dan tidak ada dokumen kependudukan, saya lihat kondisi istrinya ada kelainan, kalau suaminya normal, anak anak juga kasihan karena tidak terurus, akhirnya saya minta bantuan Disdukcapil bagaimana bisa membantu dokumen mereka, supaya bisa mudah mendapat bantuan dan sekarang sudah ada KTP,’’kata Firman.
Selain dokumen kependudukan, Firman juga menggalang dana dan meminta bantuan Baznas untuk membantu meringankan beban keluarga ini.
Sering kali bantuan berupa sembako, pakaian atau peralatan rumah tangga diberikan. Beberapa kali melakukan kunjungan, Firman melihat bantuan tersebut terbengkalai, pakaian juga awut awutan tidak tersusun sehingga Firman berkoordinasi dengan aparat desa dan melibatkan puskesmas.
Pemeriksaan rutin dari Puskesmas dilakukan, sampai akhirnya mereka menyerahkan penanganan keluarga ini ke DPPPAPPKB karena kondisinya sudah sangat memprihatinkan.
‘’Sedang ditangani Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, kita sudah lakukan semampu kita, tapi sepertinya memang butuh perlakuan khusus,’’sebut Firman. (Kompas.com/ Kontributor Nunukan, Ahmad Zulfiqor)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah 4 Bocah Gizi Buruk dan Kuper, Hidup Terasing dengan Ibu ODGJ dan Ayah Pemarah"
BACA JUGA Tribunnewsmaker.com dengan judul 4 Bocah Alami Gizi Buruk & Kuper Akhirnya Dievakuasi, Tinggal dengan Ibu ODGJ, Ayah Pemarah