Derita Ribuan Guru Honorer, Gaji Tak Turun 5 Bulan Malah Disunat, Terpaksa Utang Sana-sini

Di tengah krisis pandemi Covid-19, bak jatuh tertimpa tangga itulah yang tengah dialami oleh ribuan guru honorer di Jambi.

(KOMPAS.com/ZAKARIAS DEMON DATON)
Ilustrasi guru honorer 

Untuk menuju Desa Kindang bisa dilalui dua jalur.

Jalur pertama hanya bisa dilalui jalan kaki melewati jalan setapak dan jembatan bambu, jalur ini ditempuh 10 kilometer.

Sementara jalur keduan bisa ditempuh menggunakan roda dua dan roda empat dengan jarak sekitar 25 kilometer.

Setelah hamil ia memilik jalur kedua. Namun sebelum hamil ia melalui jalur pertama dengan berjalan kaki sejauh 10 kilometer.

Ia tak sendiri. Ada beberapa siswa yang melalui jembatan bambu termasuk petani yang memikul hasil panennya untuk dijual ke desa sebelah.

Empat tahun sudah Sri mengabdikan di sekolah yang berjarak 59 kilometer dari Kota Bulukumba.

Ia mengaku bangga dengan profesinya sebagai guru, meski hanya hanya mengajar di daerah terpencil. Alasan mengajar di daerah terpencil, hanya ingin membagikan ilmunya kepada banyak orang

"Daripada ilmu tertinggal lebih baik dibagi dan semoga bisa jadi amal jariyah," kata Sri, saat dikonfirmasi Kompas.com, Selasa (22/9/2020). Ia mengaku menerima gaji Rp 300.000 yang dibayar per tiga bulan.

"Gajinya hanya Rp 300 ribu. Waktu terus berputar gaji mulai naik Rp 900 ribu per tiga bulan," tuturnya.

Sri mengaku ingin mengubah status dengan mendaftar CPNS, namun gagal terus.

"Sudah tiga kali saya daftar CPNS tapi tidak pernah lulus. Mungkin belum rezekinya," ungkapnya.

3. Mengajar di desa tanpa daratan, 9 bulan tak digaji

Hery Cahyadi mengajar di sebuah desa tanpa daratan yakni Desa Muara Enggelam, Kecamatan Muara Wis, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Desa tersebut berada di pesisir Danau Melintang. Rumah warga dibangun di atas danau tersebut.

Ia masuk ke desa tersebut pada tahun 1997 setelah lulus pesantren di Muara Muntai, Kutai Kartanegara.

“Saya awal ke sini tidak betah, tidak ada daratan. Mau ke sana kemari naik perahu. Satu tahun belum tentu lihat daratan. Hidup di atas air,” ungkap Hery saat dihubungi Kompas.com, Rabu (7/10/2020).

Saat itu Desa Muara Enggelam masih berstatus dusun,

“Anak-anak olahraga dalam gedung dibangun di atas air. Di situ kadang anak-anak main futsal. Rata-rata di sini rumah panggung,” terang pria kelahiran 28 Agustus 1976 ini.

Setahun tinggal di desa tersebut, ia ikut tes pembukaan guru honorer kontrak oleh Pemkab Kutai Kartanegara.

Ia ditempatkan di Dusun Kuyung. Setahun kemudian, dia kembali desa tanpa daratan sekitar tahun 2000.

Gaji Herry naik menjadi Rp 325.000. Utuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, ia dan istri membersihkan ikan.

“Tapi di tahun itu juga gaji mulai mandek. Kadang tidak gajian 7 bulan. Bahkan pernah sampai 9 bulan tidak gajian. Saya mau menyerah jadi guru,” kenang Hery.

Tahun 2009, ia ikut tes CPNS dan dinyatakan lulus. Kemudian, dia diangkat jadi Plt Kepala SDN 011 Muara Wis, Desa Enggelam tahun 2013 hingga sampai saat ini.

“Mau pelantikan tapi Covid-19 jadi belum dilantik jadi kepala sekolah defenitif,” pungkas dia.

4. Guru honorer 11 tahun jalan kaki ke sekolah

Berta Bua'dera (48) seorang guru honorer di Kota Samarinda, Kalimantan Timur selama 11 tahun jalan kaki saat berangkat ke sekolah.

Sambil menenteng tas kecil dan kotak bekal, ibu satu anak ini berjalan kaki membelah kesunyian menuju SDN Filial 004 di Kampung Berambai, Kecamatan Samarinda Utara.

Rumah Berta dan sekolah terpisah hutan lebat yang berjarak sekitar 5 kilometer.

Kawasan ini sebagian besar masih hutan.

“Tiap hari saya begini, jalan kaki lima kilo menuju sekolah bawa bekal,” ungkap Berta kepada Kompas.com saat ditemui di sekolah, Rabu (29/10/2020) sore.

Jalur yang dilewati Berta tak bisa dilewati kendaraan roda dua. Ia harus menaiki bukit dan menuruni lembah. Jalur tersebut terbentuk karena dilalui orang yang berkebun.

“Kalau tidak hati-hati bisa jatuh,” Berta mengingatkan saat kami menanjaki jalan berbukit.

Ketika hujan, kata Berta, jalan tanah ini licin dan lengket. Biasanya, ia menggunakan payung ke sekolah ketika hujan.

Tak jarang, perempuan kelahiran Tanah Toraja, Sulawesi Selatan menemui ular kobra, monyet, bahkan orangutan.

“Monyet paling sering ketemu. Orangutan dan ular jarang-jarang, tapi ular di sini rata-rata berbahaya, ular kobra. Tapi syukur sejauh ini saya aman saja,” harap Berta.

5. Gentar, guru asli Orang Rimba di Jambi

Gentar sang guru pertama asli Orang Rimba saat mengajar didampingi Fasilitator Pendidikan KKI Warsi, Jauharul Maknun(KOMPAS.com/Suwandi)

Gentar (35) Orang Rimba dari Kelompok Ngadap di Jambi sudah tiga tahun menajdi guru bagi anak-anak Orang Rimba.

Lelaki yang akrab disapa Bepak Beganggum ini mengajar puluhan anak-anak.

Selama pandemi, Gentar tetap mengajar dengan berkeliling di daerah Makekal Ilir, di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD).

Guru Lokasi mengajar Gentar hanya sepelemparan batu dari pondoknya yang beratap daun cikai, sejenis rumbia yang memliki bentuk lebih lebar.

Pondoknya hanya berlantai terpal. Selama pandemi, kegiatan belajar berupaya menerapkan protokol kesehatan.

"Bejarak-bejarak duduknyo (jaga jarak duduknya),” kata Gentar saat mengajar pada Selasa (24/11/2020).

Sebenarnya, jumlah murid Gentar di rombongan itu ada 25 anak. Hanya saja, hari itu sebagian anak pergi ikut orangtua mereka untuk mempersiapkan ritual adat orang rimba.

Mumpa iyoilah keadaan kami belajor, kadong benyok kadang sedikit, tergantung bebudak (Seperti inilah kondisi kami belajar, kadang banyak, kadang sedikit, tergantung muridnya),” ujar Gentar.

Menurut Gentar, tidak ada jam khusus dalam belajar. Semua tergantung kecocokan masing-masing anak didik.

Pola pendidikan yang dikembangkan, menurut Gentar, sangat menyesuaikan dengan adat dan budaya orang rimba.

Apabila ada murid yang sakit, maka kegiatan belajar mengajar berhenti total. Sesuai dengan tradisi besesandingon, menurut Gentar, bagi anak atau orang yang sakit, harus dipisahkan dengan orang bungaron (sehat).

"Itu namanya becenenggo atau isolasi mandiri menurut orang luar," kata Gentar.

(Kompas.com/ Kontributor Jambi, Suwandi/Dhias Suwandi, Nurwahidah, Zakarias Demon Daton)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Derita Guru Honorer di Masa Pandemi, Harus Utang Kanan Kiri karena Gaji Disunat"

dan "5 Kisah Guru Mengajar di Pedalaman, Gaji Habis untuk Beli Air hingga Bertahan di Desa Tanpa Daratan"

BACA JUGA Tribunnewsmaker.com dengan judul Pahitnya Nasib Guru Honorer Jambi, Gaji Tak Turun 5 Bulan Malah Disunat, Hidup Utang Demi Makan

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved