Pemerintah Tambah Utang Negara Saat Pandemi Covid-19, Sri Mulyani: Demi Selamatkan Warga dan Ekonomi

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan alasan pemerintah tambah utang negara di kala pandemi Covid-19.

Editor: Irsan Yamananda
Instagram Sekretariat Kabinet
Sri Mulyani blak-blakan soal alasan pemerintah harus tambah utang di saat pandemi Covid-19. 

TRIBUNMATARAM.COM - Pemerintah harus menambah utang negara saat pandemi Covid-19 masih melanda di Indonesia.

Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati.

Selain itu, ia juga buka-bukaan soal alasan pemerintah mengambil langkah tersebut.

Mantan Pelaksana Bank Dunia itu mengatakan tambahan utang sangat diperlukan untuk menutup defisit APBN.

Mengingat pengeluaran pemerintah semakin membengkak akibat pandemi ini.

Sri Mulyani mengatakan, menyelamatkan nyawa manusia merupakan hal yang tak bisa ditawar.

Baca juga: Penjelasan Lengkap Menteri Keuangan Sri Mulyani Soal Penyaluran Gaji ke-13, Benarkah Cair Juni 2021?

Baca juga: Diprotes Gegara Sunat THR PNS 2021, Sri Mulyani Buka-bukaan : Demi Kartu Prakerja hingga BLT

Sri Mulyani ungkap alasan pemerintah ambil utang di kala pandemi Covid-19.
Sri Mulyani ungkap alasan pemerintah ambil utang di kala pandemi Covid-19. (Sri Mulyani dan Tonny Martono Sang Suami (wartaekonomi.co.id))

Karena itu, pemerintah harus jor-joran menyediakan anggaran guna memenuhi kebutuhan warganya.

Ia menjelaskan, risiko rusaknya perekonomian negara akan semakin besar jika penanganan pandemi semakin lama.

"Pandemi Covid-19 memang sebuah tantangan yang sungguh luar biasa.

Dia tidak hanya mengancam jiwa manusia, dia juga mampu mempengaruhi dan mengoyak perekonomian suatu negara," jelas Sri Mulyani dikutip dari siaran Youtube Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan pada Minggu (25/7/2021) seperti dikutip dari Kompas.com dengan judul "Sri Mulyani Beberkan Alasan Harus Tambah Utang Negara saat Pandemi".

Baca juga: Yasonna Laoly Tertinggi di Survei IPO Menteri Paling Layak Diganti, Sri Mulyani Paling Memuaskan

"Semua negara di dunia menggunakan instrumen kebijakan untuk bisa menangani pandemi Covid-19 dan dampak ekonomi sosial serta keuangan," kata Sri Mulyani lagi.

Sebagai bendahara negara, lanjut Sri Mulyani, dirinya merasa perlu mengeluarkan kebijakan ekstra dalam urusan pengelolaan anggaran negara.

"Pandemi adalah extra ordinary challenge, tantangan yang luar biasa, itu membutuhkan respon kebijakan yang juga extra ordinary, salah satunya adalah APBN yang harus menjawab begitu banyak tantangan di masa pandemi ini," ungkap dia.

Menurutnya, selain lonjakan anggaran kesehatan, pemerintah juga harus menggelontorkan dana besar untuk sejumlah program jaringan pengaman sosial.

Banyak masyarakat, terutama masyarakat menengah ke bawah, terdampak pandemi Covid-19, baik langsung maupun secara tidak langsung, seperti dampak pemberlakukan pembatasan aktivitas.

Pemerintah dirasa harus turun tangan membantu ekonomi masyarakat, agar perekonomian negara secara makro tetap terjaga. Semua itu menuntut pengeluaran APBN yang sangat besar.

"Kebutuhan untuk meningkatkan anggaran di bidang kesehatan, bantuan sosial bantu masyarakat, dan bantu daerah.

Hal ini terjemahannya adalah suatu beban APBN yang luar biasa, kami di Kementerian Keuangan merespon dengan apa pun kita lakukan untuk menyelamatkan warga negara dan perekonomian Indonesia," ujar dia.

Konsekuensi dari pengeluaran tambahan tersebut, membuat defisit APBN semakin tinggi. Kata Sri Mulyani, menambah utang adalah jalan keluarnya.

"Dan itu berimplikasi pada defisit APBN, kenapa kita harus menambah utang, seolah-olah dengan menambah utang menjadi tujuan. Padahal dia (utang) merupakan instrumen untuk menyelamatkan warga negara dan perekonomian kita," ucap Sri Mulyani.

Baca juga: Sri Mulyani Sebut Tak Ada Pemulihan Ekonomi Kecuali Vaksin Sudah Dibagikan di Seluruh Dunia

Perlu Utang

Ilustrasi - Sri Mulyani mengungkapkan alasan pemerintah harus utang saat pandemi Covid-19.
Ilustrasi - Sri Mulyani mengungkapkan alasan pemerintah harus utang saat pandemi Covid-19. (Dok. Kredivo)

Badan Anggaran (Banggar) DPR RI angkat suara soal besarnya utang pemerintah saat menanggulangi Covid-19.

Pasalnya, Badan Anggaran menjadi salah satu pihak yang menyetujui pemerintah berutang.

Asal tahu saja, utang pemerintah pada akhir tahun 2020 mencapai Rp 6.074,56 triliun. Posisi utang ini meningkat pesat dibandingkan dengan akhir tahun 2019 yang tercatat Rp 4.778 triliun. Utang membuat defisit fiskal tembus 6,1 persen dari PDB pada tahun 2020.

Baca juga: Kabar Pajak Pulsa dan Token Listrik Hebohkan Publik, Sri Mulyani Angkat Bicara: Tak Pengaruhi Harga

Ketua Banggar Said Abdullah mengatakan, pemerintah perlu berutang karena memang kondisinya perlu berutang. Utang tersebut semata-mata untuk membantu rakyat bertahan di tengah pandemi Covid-19.

Utang tersebut digunakan pemerintah untuk menambah anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Berbagai bantuan seperti insentif kesehatan, biaya vaksinasi, hingga bantuan sosial dianggarkan dalam program tersebut.

"Kita sadar betul bahwa pelebaran defisit itu, betul-betul karena kita butuh. Bukan karena pemerintah dan banggar senang berutang. Kondisi subjektif dan objektif mewajibkan hukumnya bagi pemerintah dan Banggar melakukan itu," kata Said dalam rapat Badan Anggaran membahas Pengesahan Laporan Panja RAPBN dan RKP Tahun 2022, beberapa waktu lalu.

Said menuturkan, UU Nomor 2 Tahun 2020 juga memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk melakukan pelebaran defisit akibat pandemi Covid-19.

Padahal jika tidak ada pandemi Covid-19, keseimbangan primer anggaran negara sudah lebih baik dan bergerak positif.

"Namun, justru karena wabah yang tidak bisa kita tolak, dan tidak kita tahu kapan akan pergi, maka penyebab wabah ini mengakibatkan satu hal, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi," beber Said.

Lebih lanjut dia menyatakan, DPR menyetujui secara sadar permohonan pemerintah untuk melebarkan defisit. Said mengungkapkan, keselamatan masyarakat dari pandemi merupakan langkah utama, begitupun dengan ekonomi rakyat.

"Bukan karena saya bela pemerintah, tapi kewajiban kita menyuarakan bahwa hukumnya fardhu ain, wajib berhutang ditingkatkan dan dilebarkan. Karena apa? Untuk kehidupan rakyat banyak," pungkas Said.

Baca juga: Dapat Aduan dari Penerima Bansos, Mensos Risma Cecar & Marahi Kadinsos Tuban: Ke Mana Uangnya?

Kemampuan Bayar Utang

Sebelumnya diberitakan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) khawatir kemampuan pemerintah dalam membayar utang dan bunga utang menurun. Pertumbuhan utang dan biaya bunga yang ditanggung pemerintah ini melampaui pertumbuhan PDB nasional.

Indikator kerentanan utang tahun 2020 melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan International Debt Relief (IDR). Rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen. Angkanya melampaui rekomendasi IMF pada rentang 25-35 persen.

Begitu juga dengan pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6-6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar 7-10 persen.

Kemudian, rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92-167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90-150 persen.

Tak hanya itu, indikator kesinambungan fiskal Tahun 2020 yang sebesar 4,27 persen juga melampaui batas yang direkomendasikan The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411 - Debt Indicators yaitu di bawah 0 persen.

"Meskipun rasio defisit dan utang terhadap PDB masih di bawah rasio yang ditetapkan dalam Perpres 72 dan UU Keuangan Negara, tapi trennya menunjukkan adanya peningkatan yang perlu diwaspadai pemerintah," kata Agung dalam Rapat Paripurna, Selasa (22/6/2021).

Artikel lainnya terkait Sri Mulyani

(Kompas/ Muhammad Idris)

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved