Makanan anaknya pun dibiarkan berceceran di mana-mana.
"Awalnya ada laporan ke kami di DPPPA pada akhir 2019, ada keluarga yang tidak tahu cara mengurus anak, pampers si anak sampai berulat, sehingga kami fokus untuk itu," ujar Faridah.
Baca juga: Pengakuan Dokter di Wuhan yang Tangani Pasien Corona, Disiksa hingga Harus Pakai Popok
Pendapatan sang ayah pas-pasan
Dengan kondisi seperti itu, anak-anak mereka mengalami gizi buruk.
Mereka tidak pernah mendapatkan asupan protein.
Ayah mereka, Herman, pun tidak bisa memberikan makanan yang layak karena penghasilan yang pas-pasan.
Sebagai buruh tombak sawit, Herman dibayar Rp 150 ribu per ton. Sebulan dia biasanya dua kali menombak sawit.
Beruntung bosnya menyediakan beras secara rutin untuk keluarga Herman.
SHUTTERSTOCK Ilustrasi stres
Diduga istri ketujuh, alami KDRT
Dari pemeriksaan psikolog, Rosnaeni mengaku sebagai istri ketujuh Herman.
Jarak usia mereka cukup jauh, yaitu Herman 52 tahun dan Rosnaeni 26 tahun.
Mereka menikah saat sama-sama menjadi TKI ilegal di Malaysia.
Pihaknya juga belum tahu penyebab Rosnaeni sampai mengalami depresi berat.
Namun menurut informasi, Rosnaeni merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
"Dari hasil obrolan psikolog, ibunya anak-anak ini istri ketujuh, kita juga belum tahu apakah Herman ini maniak atau bagaimana. Info yang kita dapat ini perkawinannya yang ketujuh, istrinya mengaku sering kena pukul, bisa jadi itu salah satu sebab dia depresi," tuturnya.