ISI LENGKAP How Democracies Die Buku Viral Bacaan Anies Baswedan, Reaksi Istana, Fadli Zon, Pengamat
Mengapa Buku How Democracies Die bacaan Anies Baswedan memicu persepsi beda-beda istana, Fadli Zon, hingga pengamat politik? Ini dia isi lengkapnya.
Berpijak pada penelitian selama puluhan tahun, dan berbagai contoh sejarah global, mulai dari Eropa tahun 1930-an, hingga era kontemporer Hungaria, Turki dan Venezuela, kedua profesor itu menunjukkan bagaimana demokrasi mati dan bagaimana ia dapat diselamatkan.
Buku How Democracies Die juga telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul "Bagaimana Demokrasi Mati" dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2019.
Perjalanan politik
Dilansir dari The Guardian, 24 Januari 2018, berdasarkan ulasan yang ditulis oleh David Runciman, How Democracies Die merangkum perjalanan politik otoriter di berbagai penjuru dunia, dan menemukan pola serupa yang terus berulang.
Para penguasa abad ke-21 tidak melenyapkan konstitusi dan menggantinya dengan tank di jalanan.
Mereka berbasa-basi kepada konstitusi sambil bersikap seolah-olah hal itu tidak ada.
Hal itu bisa dilihat, salah satunya, pada cara Vladimir Putin, presiden Rusia, secara legal menukar peran antara Presiden dengan Perdana Menteri, dan dengan demikian tetap taat pada konstitusi, sekaligus mempecundanginya.
Praktik serupa juga bisa dilihat pada cara Reccep Tayip Erdogan mempertahankan kekuasaannya di Turki, juga Viktor Orban di Hungaria, Nicolas Maduro di Venezuela, dan Narendra Modi di India.
Para penguasa itu memiliki pola yang sama, yakni mereka semua menjatuhkan lawan mereka sebagai kriminal, menunjukkan penghinaan terang-terangan atas kritik di media, memicu teori konspirasi tentang gerakan oposisi, dan mempertanyakan keabsahan suara yang menentang mereka.
Catatan sejarah
How Democracies Die, memberikan panduan berdasarkan catatan sejarah, tentang cara mempertahankan norma-norma demokrasi ketika ia berada di bawah ancaman, dan menunjukkan bahwa ancama itu bisa dilawan.
Seperti yang terjadi di Belgia pada tahun 1930-an, partai-partai arus utama dapat bersekutu melawan otoritarianisme.
Ketika itu, fasisme di Belgia berhasil dikalahkan berkat kesediaan partai Katolik sayap kanan untuk bergabung dengan kaum liberal.
Sementara itu, sejak Perang Dunia II berakhir, partai-partai sayap kiri dan kanan di Jerman telah menunjukkan kesiapan untuk bekerja sama daripada membiarkan ekstremisme mendapatkan pijakan dalam pemerintahan.
Di Chile, rezim otoriter Augusto Pinochet akhirnya dikalahkan pada 1989 oleh aliansi Demokrat Kristen dan Sosialis, yang bersama-sama berkomitmen untuk memelihara demokrasi.