Meski Tak Kantongi Restu BPOM, Vaksin Nusantara Tetap Lanjutkan Uji Klinis 2, Disebut 'Pelanggaran'
Apalagi, BPOM belum meng-acc uji klinis pertama lantaran dianggap belum memenuhi syarat.
TRIBUNMATARAM.COM - Meski belum mendapat 'restu' dari BPOM untuk melanjutkan uji klinis, pembuatan vaksin Nusantara tetap nekat dilanjutkan.
Tentu saja, hal ini menimbulkan polemik di tengah masyarakat.
Apalagi, BPOM belum meng-acc uji klinis pertama lantaran dianggap belum memenuhi syarat.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Akmal Taher menilai, terus dilanjutkannya proses uji klinis Vaksin Nusantara telah melanggar peraturan perundang-undangan.
Sebab, kata dia, vaksin yang akan disebar luaskan ke masyarakat harus mendapatkan izin Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
"Jadi jelas ada pelanggaran peraturan karena itu ada di peraturan pemerintah," kata Akmal dalam konferensi pers mendukung BPOM, Sabtu (17/4/2021).
Baca juga: BPOM Tak Ikut Campur Soal Penyuntikan Vaksin Nusantara di RSPAD : Masyarakat Harus Pintar
Baca juga: Polemik Vaksin Nusantara, Tak Diujicoba ke Hewan, 71,4 Persen Relawan Alami Kejadian Tak Diinginkan
Akmal menjelaskan, pelanggaran jelas terlihat ketika dilanjutkannya uji klinis padahal pada tahap pertama uji klinis dinilai belum memenuhi syarat untuk berlanjut ke fase tahap dua.
"Kan sudah dinilai itu belum memenuhi syarat untuk boleh menjalankan ke fase dua, itu mestinya yang enggak boleh dilakukan. Itu sangat clear saya kira," ujarnya.
Namun, jika dilihat secara etik, pelanggaran juga bisa mengenai peneliti dari vaksin tersebut.
"Karena secara kedokteran kita juga mempunyai etik dan melakukan suatu uji klinik itu kita mesti ikut juga pada aturan mendapatkan legal cleareance," ucap dia, dikutip dari Kompas.com dengan judul "Uji Klinis Vaksin Nusantara Berlanjut, Guru Besar FKUI: Jelas Ada Pelanggaran"
Sebagaimana diketahui, Vaksin Nusantara belakangan menuai kontroversi di masyarakat.
Pasalnya, uji klinik fase kedua vaksin Nusantara tetap dilanjutkan meski belum mendapatkan izin atau Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) dari BPOM.
Sejumlah anggota Komisi IX bahkan menjadi relawan pengembangan vaksin. Sampel darah mereka diambil di RSPAD Gatot Soebroto, Rabu (14/4/2021).
Sementara berdasarkan data studi vaksin Nusantara, tercatat 20 dari 28 subjek atau 71,4 persen relawan uji klinik fase I mengalami Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) dalam grade 1 dan 2.
Kepala BPOM Penny Lukito mengatakan, relawan mengalami kejadian yang tidak diinginkan pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 500 mcg.
"Dan lebih banyak dibandingkan pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 250 mcg dan tanpa adjuvant," kata Penny, dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Rabu (14/4/2021).
Polemik Vaksin Nusantara
Kali ini, vaksin yang diklaim produk dalam negeri ini nyatanya menimbulkan efek samping yang tak diinginkan pada para relawannya.
Akibatnya, penelitian terhadap vaksin nusantara diimbau untuk dihentikan.
Berdasarkan data studi vaksin Nusantara, tercatat 20 dari 28 subjek atau 71,4 persen relawan uji klinik fase I mengalami Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) dalam grade 1 dan 2.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Lukito mengatakan, relawan mengalami kejadian yang tidak diinginkan pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 500 mcg.

"Dan lebih banyak dibandingkan pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 250 mcg dan tanpa adjuvant," kata Penny, dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Rabu (14/4/2021).
Penny mengatakan, KTD pada relawan antara lain nyeri lokal, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, penebalan, kemerahan, gatal, ptechiae, lemas, mual, demam, batuk, pilek dan gatal.
Baca juga: Komandan Brimob Meriang Lalu Meninggal 5 Hari Usai Divaksin, Kadinkes: Hipertensi & Positif Covid-19
Baca juga: Video Viral KTP Non-Islam Tak Bisa Daftar Vaksin, Ini Penjelasan & Klarifikasi Muhammadiyah
Menurut Penny, KTD juga terjadi pada relawan grade 3 pada 6 subjek.
Rinciannya, 1 subjek mengalami hipernatremi, 2 subjek mengalami peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN) dan 3 subjek mengalami peningkatan kolesterol.
Penny menjelaskan, kejadian yang tidak diinginkan pada grade 3 merupakan salah satu kriteria untuk menghentikan pelaksanaan uji klinis sebagaimana tercantum pada protokol uji klinik. Namun, tim peneliti tidak melakukan penghentian uji klinik.
"Berdasarkan informasi Tim Peneliti saat inspeksi yang dilakukan Badan POM, tidak dilakukan penghentian pelaksanaan uji klinik dan analisis yang dilakukan oleh Tim Peneliti terkait kejadian tersebut," ujarnya, dikutip dari Kompas.com dengan judul "BPOM: 71,4 Persen Relawan Uji Klinik Vaksin Nusantara Alami Kejadian Tak Diinginkan"
Lebih lanjut, Penny mengatakan, dalam proses pembuatan vaksin Nusantara ditemukan kelemahan-kelemahan terkait penjaminan mutu dan keamanan.
"Semua pertanyaan (saat hearing) dijawab oleh peneliti dari AIVITA Biomedica Inc, USA, di mana dalam protokol tidak tercantum nama peneliti tersebut. Peneliti utama: dr Djoko (RSPAD Gatot Subroto) dan dr Karyana (Balitbangkes) tidak dapat menjawab proses-proses yang berjalan karena tidak mengikuti jalannya penelitian," pungkasnya.
Adapun tim peneliti vaksin Nusantara terdiri dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan; RSUP Dr Kariadi, Semarang; Universitas Diponegoro, Semarang; dan Aivita Biomedical dari Amerika Serikat.
Pendanaan penelitian vaksin berbasis sel dendritik ini didukung oleh Balitbangkes dan Aivita.
Tak Diujicoba ke Hewan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Lukito mengatakan, pihaknya sudah melakukan inspeksi terhadap pengembangan dasar vaksin Nusantara.
Penny mengatakan, awal pengembangan vaksin harus memenuhi good laboratorium practice. Salah satunya, uji praklinik yang dilakukan terhadap hewan.
Namun, tahapan ini tidak dilakukan oleh tim peneliti vaksin Nusantara.
"Itu etikanya seperti itu, karena enggak boleh, karena ini kan menyangkut nyawa manusia. Sebelum masuk ke manusia harus ke hewan dulu. Nah pada saat itu mereka (peneliti vaksin Nusantara) enggak melakukan itu di hewan," kata Penny, saat ditemui di Kantor BPOM, Jalan Percetakan Negara, Jakarta, Rabu (14/3/2021).
Penny mengatakan, tim peneliti akhirnya tetap memberikan data praklinik ke BPOM yang dilakukan di Amerika Serikat. Namun, setelah dilakukan pemeriksaan, data tersebut tidak baik jika dikaitkan dengan praklinik.
Ia menjelaskan, dalam praklinik, vaksin bisa dilakukan ke hewan seperti mencit atau tikus putih dan hewan mamalia sebelum akhirnya disuntikan ke manusia.
"Kedua, harus dengan hewan mamalia juga, primata biasanya, karena ini vaksin, sebelum ke manusia. Itu etika, itu etiknya seperti itu. Ini enggak dilakukan," ujarnya.
Selain itu, Penny mengungkapkan, uji klinis vaksin Nusantara ini belum bisa dilanjutkan karena banyak temuan dan konsep dari vaksin tersebut masih diperdebatkan.
Sebab, cara pelaksanaan vaksinasi berbeda dengan vaksin yang biasa digunakan.
"Jadi itu belum pasti ini terapi apa vaksin. Karena ini beda, beda dengan vaksin-vaksin lain," ucapnya.
Lebih lanjut, Penny mengatakan, pengembangan vaksin Nusantara tidak memenuhi good laboratorium practice dan good manufacturing practice.
Terkait good manufacturing practice, kata Penny, antigen yang digunakan sebagai komponen vaksin Nusantara ini merupakan produk impor.
Namun, komponen tersebut tidak memenuhi syarat pharmaceutical grade.
"Apapun yang masuk ke badan kita melalui disuntikkan, itu harus pharmaceutical grade atau tingkat kemurniannya sehingga tidak mengandung kontaminasi, ini enggak (vaksin Nusantara). Ini technical grade jadi masih technical grade dimasukkan, itu pelanggaran sekali dalam hal itu," pungkasnya.
(Kompas.com/ Haryanti Puspa Sari/Sania Mashabi)
#vaksinNusantara #covid-19