Firli Bahuri Didesak 518 Pegawai Aktif KPK untuk Angkat Mereka yang Tak Lolos TWK: Bukti Patuh Hukum
Hal ini sebagai instruksi dari Ombudsman RI atas gagalnya 75 pegawai KPK dalam Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) beberapa bulan silam.
TRIBUNMATARAM.COM - Ratusan pegawai aktif KPK mendesak Firli Bahuri untuk segera mengangkat 75 pegawai KPK yang dinyatakan tak memenuhi syarat TWK KPK untuk menjadi ASN.
Hal ini sebagai instruksi dari Ombudsman RI atas gagalnya 75 pegawai KPK dalam Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) beberapa bulan silam.
Setidaknya 518 pegawai aktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di luar 75 pegawai yang tidak memenuhi syarat (TMS), mendesak Firli Bahuri dkk mengangkat mereka yang tak lolos jadi aparatur sipil negara (ASN) lewat mekanisme tes wawasan kebangsaan (TWK).
Hal itu dinilai perlu dilakukan Firli Bahuri dkk untuk menunjukkan komitmen KPK patuh hukum, yaitu dengan mengikuti tindakan korektif yang disampaikan Ombudsman RI (ORI).
"Meminta Pimpinan KPK segera mengangkat pegawai KPK yang dinyatakan TMS menjadi ASN untuk menunjukkan komitmen KPK untuk patuh dengan hukum yang berlaku, menjaga kepercayaan publik serta tidak mengingkari hak konstitutional para pegawai sesuai rekomendasi ORI yang sejalan dengan arahan Presiden, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019 serta amanat Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945," tulis pernyataan resmi pegawai KPK tersebut, Senin (16/8/2021).
Baca juga: Polemik TWK KPK yang Mampu Keluarkan 75 Pegawai Profesional, BKN Jelaskan Asal-usulnya
Baca juga: Ambang Batas atau Passing Grade CPNS 2021, Pastikan Melampaui untuk Lolos SKD TIU, TKP, TWK
518 pegawai aktif melihat KPK bukanlah sekadar tempat untuk bekerja atau mencari nafkah, lebih dari itu, KPK adalah simbol dari harapan pascareformasi untuk menuju Indonesia yang bebas dari korupsi, nepotisme serta kolusi (KKN).
Untuk itulah, kata mereka, merujuk pada TAP MPR NO VIII/MPR/2001, KPK merupakan lembaga yang disebutkan secara eksplisit karena besarnya harapan agar KPK dapat membangun nilai baru di Indonesia.

Bertahun-tahun perjuangan tersebut membuahkan hasil, KPK menjadi percontohan yang bukan hanya diakui pada tingkat nasional tetapi dunia.
"Namun, semua berjalan mundur pascaadanya beberapa kebijakan yang bertentangan dengan nilai yang telah dibangun sebelumnya," bunyi surat pegawai.
Pasalnya menurut 518 pegawai, hasil pemeriksaan Ombudsman yang diumumkan pada 21 Juli 2021, telah membuka tabir persoalan dalam proses alih status pegawai KPK menjadi ASN.
Pada pokoknya, laporan tersebut menyatakan telah terjadi penyalahgunaan wewenang, pelanggaran administrasi, dan pelanggaran prosedural dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan TWK pada proses peralihan status pegawai KPK menjadi ASN.
Termasuk di dalamnya indikasi pembuatan dokumen hukum bertanggal mundur yang mempunyai konsekuensi secara hukum, dikutip dari Tribunnews.com dengan judul 518 Pegawai Aktif KPK Desak Firli Bahuri Dkk Angkat Mereka yang Tak Lolos ASN
Selain itu, Ombudsman juga telah menegaskan agar KPK melaksanakan tindakan korektif termasuk mengalihkan status 75 pegawai KPK sebagai ASN.
"Persoalannya, KPK malah tidak terlihat akan melaksanakan rekomendasi tersebut padahal sebagaimana kita ketahui bahwa maladministrasi merupakan ranah kewenangan ORI," kata mereka.
Untuk itu, 518 pegawai aktif meminta KPK menjadi percontohan lembaga penegak hukum yang baik dengan melaksanakan seluruh tindakan korektif dari Ombudsman untuk membuktikan pernyataan pimpinan dalam berbagai forum bahwa tidak ada niat untuk memberhentikan pegawai KPK.
"Momentum temuan ORI ini menjadi salah satu pembuktian niat pimpinan KPK yang sesungguhnya atas persoalan TWK dalam proses peralihan status kepegawaian KPK," tulis pegawai dalam suratnya.
Asal-usul TWK KPK Versi BKN
TWK KPK yang menjadi dasar dinon-aktifkannya puluhan pegawai KPK ini menimbulkan polemik.
Bagaimana tidak, sejumlah pertanyaan yang diajukan dalam TWK KPK tersebut terbilang janggal.
Badan Kepegawaian Negara (BKN) menjelaskan asal muasal munculnya asesmen tes wawasan kebangsaan (TWK) bagi pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
TWK sendiri merupakan satu syarat alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Wakil Ketua BKN Supranawa Yusuf menjelaskan TWK telah ada dalam Undang-Undang 5 Tahun 2014 tentang ASN.
"Berkaitan tes wawasan kebangsaan yang muncul di Pasal 5, itu sebenarnya bukan barang baru. Artinya, di dalam UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN, itu nyata-nyata disebutkan bahwa untuk jadi ASN, itu harus ada seleksi," jelas Supranawa dalam jumpa pers virtual, Jumat (13/8/2021).
Baca juga: Meski Jokowi Sebut TWK KPK Tak Bisa Jadi Dasar Pemberhentian, 51 Pegawai Tetap Dirumahkan, 24 Dibina
Baca juga: Hasil TWK Disembunyikan, Pegawai KPK Minta Sekjen Tak Ikuti Ingin Pimpinan yang Sewenang-wenang
Menurut penuturan Supranawa, TWK terbagi dalam seleksi kompetensi dasar dan kompetensi bidang.
"Seleksinya, itu ada seleksi kompetensi dasar atau seleksi kompetensi bidang. Kompetensi dasar, itu di dalamnya ada yang disebut wawasan kebangsaan atau TWK, di samping ada karakteristik pribadi dan inteligensi umum. Jadi itu sudah pakem dalam proses seleksi CPNS," kata Supranawa.

Isi dari TWK ini disebutkan terkait dengan Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.
Selain itu, Supranawa mengatakan, akan ada proses pengangkatan CPNS menjadi PNS, kenaikan jabatan, hingga mutasi yang dilakukan dengan pengucapan janji.
"Nah, kalau kita bicara kontennya, subtansinya, kenapa kok perlu ada tes wawasan kebangsaan, isinya apa sih tes wawasan kebangsaan? Di sana ada terkait Pancasila, UUD 1945, dengan pemerintahan yang sah, dan NKRI, atau kita singkat BUNP. Dan sebagai ASN atau PNS, itu setiap ada proses pengangkatan, baik dari CPNS menjadi PNS, nanti setelah jadi PNS dia naik jabatan atau diangkat ke tempat lain, mutasi dan sebagainya, itu harus mengucapkan sumpah atau janji," katanya.
"Di dalam sumpah atau janji, itu ya di dalamnya juga lagi-lagi terkait dengan tadi, kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, UUD 1945, negara dan pemerintahan yang sah. Itu selalu ada, jadi esensinya ada di situ," tambah Supranawa.
Ia membeberkan persyaratan tersebut disinggung pada saat proses harmonisasi pembahasan peraturan KPK.
Ia menyebut awalnya KPK mengusulkan tidak adanya tes, melainkan hanya berupa pernyataan.
"Nah, pada saat proses pembahasan peraturan KPK ini, isu itu muncul, dan sejak awal pembahasan sebenarnya sudah ada yang menyinggung mengenai persyaratan itu. Kalau prosesnya bahkan memang pernah diusulkan oleh KPK, itu nggak usah ada tes, tapi cukup pernyataan," kata dia.
Tetapi, ia menyebut, dalam pertemuan dan diskusi, pembahasan terkait tes ini berkembang.
Sehingga, diputuskan adanya pasal yang mengatur TWK tersebut.
"Tapi, di dalam pertemuan-pertemuan, dalam diskusi, berkembang, apa iya cukup pernyataan? Ini kan bicaranya bukan bicara pengetahuan atau kesetiaan saja, tapi juga melihat perilakunya seperti apa, keseharian dia seperti apa, nilai-nilai yang ada di dalam manusia itu seperti apa, itu kan juga perlu dites. Oleh sebab itu, pada akhirnya disepakati, ada pasal yang mengatur mengenai perlunya tes wawasan kebangsaan tersebut," ujarnya.
Supranawa menyebut pihaknya tidak berfokus pada siapa yang mengusulkan, melainkan pada konteks dan substansi yang dibuat serta berdasarkan kesepakatan seluruh peserta rapat harmonisasi.

"Kita sih tidak concern pada siapa yang mengusulkan, tapi lebih concern pada substansinya. Kalau dalam rapat harmonisasi, kan siapa saja boleh bicara. Tapi masalahnya adalah kontennya, substansinya, materi muatannya, yes or no. Nah kalau semua peserta bilang yes, oke, ya sudah, masuk di dalam rumusan," ujarnya, dikutip dari Tribunnews.com dengan judul BKN Beri Penjelasan Asal Muasal Tes Wawasan Kebangsaan Pegawai KPK
Supranawa juga membantah temuan Ombudsman RI (ORI) yang menyatakan ada penyisipan materi dalam pelaksanaan TWK.
Menurut dia, dalam penyusunan, pertemuan, ada dinamika dan diskusi yang terjadi.
"Jadi di dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan, itu saya kira nggak ada istilah penyisipan ayat itu. Karena proses penyusunan pengaturan itu pasti banyak dinamikanya, bahkan kalau yang hadir berbeda, pikirannya berbeda, usulannya juga berbeda. Jadi setiap saat pertemuan, bisa saja on-off substansinya. Mungkin substansi yang kemarin nggak masuk, hari ini menjadi masuk, besok menjadi nggak masuk lagi, itu lazim saja di dalam penyusunan peraturan," katanya.