Cerita Pilu Mbah Kasirah, Nenek Sebatangkara di Ngawi, Tak Dibantu Pemerintah karena Tak Punya E-KTP

Cerita pilu Mbah Kasirah, warga Desa Keras Wetan, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, hidup sebatangkara tak pernah dapat bantuan karena tak punya E-KTP.

(KOMPAS.COM/SUKOCO)
Mbah Kasirah (89) warga Desa Keras Wetan Kabupaten Ngawi Jawa,diusia senjanya terpaksa tinggal menumpang di rumah kosong milik warga karena hidup sebatangkara. Maski hidup sebatang kara dan miskin, namun mbah Kasirah tidak pernah menerima bantuan dari pemerintah karena tak memiliki e-KTP. 

Dulu, Mbah Wardi  memiliki gubuk di lahan pinjaman  di dukuh Jambangan Kulon, namun karena roboh dia akhirnya menggelandang tak tentu arah.

“Rumah warisan orangtua yang ninggali kakak saya, daripada merepotkan orang lain saya tinggal di pos ronda saja,” tambahnya.

Dari perkawinannya, Wardi mempunyai 3 orang anak, satu di antaranya meninggal dunia.

Karena kemiskinan, kedua anak Wardi dipelihara oleh adiknya di luar kota.

Saat ini, kedua anaknya tak ada di Ngawi, anak keduanya tinggal di Kota Jambi.

“Saya tidak mau merepotkan anak karena saya dulu tidak bisa membahagiakan mereka karena tidak punya apa apa.

Saya kerja keras tapi tidak cukup untuk memberi penghidupan yang layak kepada mereka,” katanya.

Buta karena kerja terlalu keras

Wardi mengalami kebutaan ketika berumur 35 tahun.

Dari diagnosa dokter mata di Kota Madiun, kebutaan yang dialami karena syaraf mata Wardi mengalami kerusakan yang diakibatkan kerja yang terlalu keras.

Karena lahir dari keluarga yang tidak mampu membuat Wardi harus bekerja keras sebagai buruh tani dan buruh penggali pasir. 

Beban kerjanya semakin berat karena harus menghidupi keluarganya.

“Berobatnya di Madiun  sampai di Yogyakarta. 

Dokter bilang syaraf matanya rusak karena terlalu banyak kerja,” ujarnya.

Meski mengalami kebutaan pada kedua matanya, di usia senjanya Wardi masih harus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan makan sehari-hari.

Pekerjaan berat sebagai buruh tani dan mencari pasir di sungai terpaksa masih dilakoni.

Karena saat ini pasir  sungai  di desanya mulai habis, Wardi memilih bekerja apa saja termasuk jual beli sepeda bekas, tape recorder hingga jualan  barang rongsok termasuk  makelar sepeda motor.

Tidak bisa dipastikan berapa hasil dari berjualan barang rongsok yang dijalaninya setiap hari.

Kadang barang dagangannya hanya dibarter dengan barang lain tanpa mendapat uang.

Seperti pagi itu, Wardi rela menukar sepeda mini yang dibawanya keliling kampung dengan sebuah tape recorder karena salah satu warga membutuhkan sepeda mini untuk anaknya.

“Ditukar saja tadi tida ada uangnya.

Kira kira harganya seratus ribu ini tape, nanti dijual berapa lah yang penting diatas 100 ribu,” katanya.

Meski sering tak mendapat untung dalam jual beli barang rongsokan, Mbah Wardi enggan merepotkan warga lain disaat perutnya lapar.

Dia memilih  menahan lapar daripada harus merepotkan orang lain.

“Kalau punya uang dia pasti beli, tidak mau dikasih.

Kadang dia memilih menahan lapar, meski kita kasih tidak mau,” ujar Isminah pemilik warung  di depan pos ronda tempat tinggal mbah Wardi.

Meski mengalami kebutaan pada usia 35 tahun, Mbah Wardi tidak pernah kesulitan bepergian untuk mencari pembeli maupun  mencari barang rongsok untuk dijual  keiling kampung .

Dia mengaku cukup hafal dengan jalan jalan di desanya, bahkan jalan di 5 desa sekitar desa Jambangan dia masih mengingat.

“Rabanya pakai kaki. Kalau arah ke mana seperti diingatkan.

Seperti mau ke Desa Kebon itu arahnya ke sana, kalau Desa Jambangan kulon arahnya ke sana seperti di tuntun.

Susahnya kalau ketemu mobil selep padi, dengar suara ribut saya bingung tadi arahnya kemana,” katanya.

Tak pernah dapat bantuan pemerintah karena tidak punya KTP

Meksi hidup terlunta lunta dan mengalami kebutaan, Wardi tidak pernah menerima bantuan apapun dari pemerintah. 

Dia mengatakan, tidak membutuhkan bantuan dari siapapun selagi dia bisa mencari sendiri  kebutuhan hdupnya.

“Kalau dirasakan ya susah, tapi saya ikhlas menjalaninya.

Yang penting masih bisa berusaha,” ucapnya.

Meski lahir di Desa Jambangan, Wardi ternyata  tak pernah memiliki Kartu Tanda Penduduk KTP. 

Dia mengaku enggan mengurus KTP karena kesulitan untuk mengurus sejumlah persyaratan yang harus dilengkapi.

Dengan kondisinya yang buta dia hanya pasrah jika tidak memiliki KTP.

Sayangnya nasib tidak memiliki KTP tidak diketahui oleh perangkat Desa Jambangan.

Pejabat Sekertaris Desa Jambangan Masroh mengaku tahu jika ada warganya yang mengalami kebutaan dan harus bekerja sebagai buruh penggali pasir, namun tidak tahu jika  Mbah Wardi  tidak memiliki KTP.

Dia mengaku akan meminta kepala dusun untuk memastikan jika Mbah Wardi memang benar benar tidak memiliki KTP.

“Tahu saya kalau Mbah Wardi yang kerjanya mencari pasir, tapi kalau tidak punya KTP saya baru dengar dari Bapak, ” katanya. (Kompas.com/KONTRIBUTOR MAGETAN, SUKOCO)

Sumber : https://regional.kompas.com/read/2019/08/20/11382931/kakek-buta-ini-hidup-di-pos-ronda-berjualan-barang-bekas-dan-angkut-pasir?page=all

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved